Kamis, 09 Juli 2015

Gangguan Jiwa



              A. Gangguan Jiwa
1.    Pengertian
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor). Dari berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental (Yosep, 2007).
2.    Penyebab Gangguan Jiwa
      Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Faktor-faktor organobiologis yaitu seperti neuroanatomi, neurofisiologi, neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik dan faktor-faktor pre dan peri-natal.
2.      Faktor-faktor psikoedukatip yaitu antara lain interaksi ibu-anak; kehilangan figur ibu karena bekerja atau terpaksa meninggalkan anak (perasaan tak percaya dan kebimbangan), peranan ayah, persaingan antara saudara kandung, inteligensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep diri: pengertian identitas diri: apakah saya laki atau perempuan?, keterampilan, bakat dan kreativitas, pola adaptasi sebagai reaksi terhadap bahaya, tingkat perkembangan emosi
3.      Faktor-faktor sosiokultural antara lain kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan masalah di perkotaan atau pedesaan, masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh rasial diskriminatif dan keagamaan serta nilai-nilai.
Menurut Yosep (2010), selain faktor-faktor di atas, penyebab gangguan jiwa juga dapat dibedakan atas beberapa faktor yaitu:
1.    Faktor Keturunan
Pada mongoloisme atau sindroma down (suatu macam retardasi mental dengan mata sipit, muka datar, telinga kecil, jari-jari pendek dan lain-lain) terdapat trisoma (yaitu tiga buah, bukan dua) pada pasangan kromosoma nomor 21. Sindroma Turner (dengan ciri-ciri khas: tubuh pendek, leher melebar, infantilisme sexual) ternyata berhubungan dengan jumlah kromosoma sex yang abnormal. Gangguan yang berhubungan dengan kromosoma sex dikatakan “terikat pada sex” (“sex linked”), artinya bahwa efek genetik itu hanya terdapat pada kromosoma sex. Kaum wanita ternyata lebih kurang peka terhadap gangguan yang terikat pada sex, karena mereka mempunyai dua kromosoma X: bila satu tidak baik, maka yang lain biasanya akan melakukan pekerjaannya. Akan tetapi seorang pria hanya mempunyai satu kromosoma X dan satu kromosoma Y, dan bila salah satu tidak baik, maka terganggulah ia. Masih dipermasalahkan, betulkah pria dengan XYY lebih cenderung melakukan perbuatan kriminal yang kejam?
2.    Faktor Konstitusi
Konstitusi pada umumnya menunjukkan kepada keadaan biologik seluruhnya, termasuk baik yang diturunkan maupun yang didapati kemudian; umpamanya bentuk badan (perawakan), sex, temperamen, fungsi endoktrin daurat syaraf jenis darah.
Jelas bahwa hal-hal ini mempengaruhi perilaku individu secara baik ataupun tidak baik, umpamanya bentuk badan yang atletik atau yang kurus, tinggi badan yang terlalu tinggi ataupun terlalu pendek, paras muka yang cantik ataupun jelek, sex wanita atau pria, fungsi hormonal yang seimbang atau yang berlebihan salah satu hormon, urat syaraf yang cepat reaksinya atau yang lambat sekali, dan seterusnya. Semua ini turut mempengaruhi hidup seseorang.
3.    Cacat Kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak, terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi pada umumnya pengaruh cacat ini pada timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat atau berubah itu.
Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan jelas, tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau dapat mempengaruhi daya tahan terhadap stres.
4.    Perkembangan Psikologik yang Salah
a.    Ketidakmatangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih lanjut ke fase berikutnya;
b.     “Tempat-tempat lemah” yang ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai kepekaan terhadap jenis stres tertentu.
c.    Disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal. Kita akan membicarakan beberapa faktor dalam perkembangan psikologik yang tidak sehat
5.    Deprivasi Dini
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di rumah sendiri, terpisah dengan ibu atau di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan dengan retardasi mental. Kekurangan protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun, dapat mengakibatkan retardasi mental.
Eprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan “tempat-tempat yang lemah” pada jiwa, dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk perkembangan psikologik rupanya ada “masa-masa gawat”. Dalam masa ini rangsangan dan pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan intelektual, emosional dan sosial yang normal
6.    Pola Keluarga yang Petagonik
Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang peranan yang penting dalam pembentukan kepribadian. Hubungan orang tua-anak yang salah atau interaksi yang patogenik dalam keluarga sering merupakan sumber gangguan penyesuaian diri.
Kadang-kadang orang tua berbuat terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak itu berkembang sendiri. Ada kalanya orang tua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak itu atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya. Kadang-kadang mereka malahan mengajarkan anak itu pola-pola yang tidak sesuai. Akan tetapi pengaruh cara asuhan anak tergantung pada keadaan sosial secara keseluruhan dimana hal itu dilakukan. Dan juga, anak-anak bereaksi secara berlainan terhadap cara yang sama dan tidak semua akibat adalah tetapi kerusakan dini sering diperbaiki sebagian oleh pengalaman di kemudian hari. Akan tetapi beberapa jenis hubungan orangtua-anak sering terdapat dalam latar belakang anak-anak yang terganggu, umpamanya penolakan, perlindungan berlebihan, manja berlebihan, tuntutan perfeksionistik, standard moral yang kaku dan tidak realistik, disiplin yang salah, persaingan antar saudara yang tidak sehat, contoh orang tua yang salah, ketidak-sesuaian perkawinan dan rumah tangganya yang berantakan, tuntutan yang bertentangan.
7.    Masa Remaja
Masa remaja dikenal sebagai masa gawat dalam perkembangan kepribadian, sebagai masa “badai dan stres”. Dalam masa ini individu dihadapi dengan pertumbuhan yang cepat, perubahan-perubahan badaniah dan pematangan sexual. Pada waktu yang sama status sosialnya juga mengalami perubahan, bila dahulu ia sangat tergantung kepada orang tuanya atau orang lain, sekarang ia harus belajar berdiri sendiri dan bertanggung jawab yang membawa dengan sendirinya masalah pernikahan, pekerjaan dan status sosial umum. Kebebasan yang lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula.
8.    Genetika
Menurut Cloninger dalam Yosep (2008), gangguan jiwa terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter.
Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10%, sedangkan keponakan atau cucu kejadiannya 2-4%. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48%, sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17%. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga klien yang mengalami gangguan jiwa.
9.    Neurobiological, yaitu adanya gangguan pada struktur saraf otak
10.  Biokimiawi tubuh
11.  Neurobehavioral
12.  Stress
13.  Penyalahgunaan obat-obatan
14.  Psikodinamik
15.  Sebab Biologik
16.  Sebab Psikologik
17.  Sebab Sosio Kultural
3.    Jenis Gangguan Jiwa yang Dirawat di Rumah
Klien yang dilakukan perawatan di rumah adalah klien dengan gangguan kejiwaan yang sedang atau ringan sesuai dengan jenis penyakit yang diderita pasien. Perawatan di rumah pada klien dengan gangguan jiwa juga bisa dilakukan apabila merupakan kelanjutan dari perawatan setelah keluar dari rumah sakit (Yosep, 2008).
Klien dengan gangguan jiwa sangat rentan terhadap perilaku sosial masyarakat dimana terkadang masyarakat sekitar kurang mengerti kondisi yang dialami oleh klien dengan gangguan jiwa.
Selain itu juga perlu diperhatikan kondisi di rumah yang dapat memicu kambuhnya kembali penyakit yang diderita klien. Untuk itu perawatan klien di rumah tidak hanya dilakukan kepada klien tetapi juga harus dilakukan promosi kesehatan kepada keluarga agar mendukung upaya penyembuhan atau rehabilitasi penyakit klien.
2.    Motivasi Keluarga dalam Melakukan Perawatan Pasien Gangguan Jiwa
1.    Pengertian Motivasi
       Walgito dalam Jamilatun (2008), mendefinisikan motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku kearah tujuan. Sehingga dapat disimpulkan motivasi keluarga dalam melakukan perawatan pasien gangguan jiwa adalah daya dalam diri, sebagai penggerak, pendorong, merupakan kehendak atau alasan yang diberikan kepada keluarga untuk membangkitkan, mengarahkan, mengontrol, menjalankan tingkah laku atau bertindak serta berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam mencapai tujuan tertentu atau yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis.
2.    Jenis Motivasi
Moekijat dalam Jamilatun (2008), mengklasifikasikan motivasi menjadi dua yakni:
a.    Motivasi intrinsik berasal dari dalam diri manusia, biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga manusia menjadi puas, kebutuhan dan keinginan-keinginan yang terdapat dalam diri seseorang individu akan menambah motivasi internnya.
b.    Motivasi ekstrinsik berasal dari luar yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan. Termasuk masalah pendapatan, hubungan kerja, penghargaan akan prestasi yang telah dicapai, promosi dan tanggung jawab.
3.    Cara Pengukuran Motivasi Keluarga Pasien Dengan Gangguan Jiwa
Menurut Makmun (2001), meskipun motivasi merupakan suatu kekuatan, namun tidaklah merupakan suatu substansi yang dapat kita amati. Yang dapat kita lakukan ialah mengidentifikasi beberapa indikatornya dalam term-term tertentu antara lain:
1)    Durasinya kegiatan (berapa lama kemampuan penggunaan waktunya untuk melakukan kegiatan).
2)    Frekuensinya kegiatan (berapa sering kegiatan dilakukan dalam periode waktu tertentu).
3)    Persistensinya (ketetapan dan kelekatannya) pada tujuan kegiatannya.
4)    Ketabahan, keuletan dan kemampuannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk mencapai tujuan.
5)    Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran bahkan jiwa atau nyawanya) untuk mencapai tujuan.
6)    Tingkatan aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita, sasaran atau target dan idolanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan.
7)    Tingkatan kualifikasi prestasi atau produk atau output yang dicapai dari kegiatannya (berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak).
8)    Arah sikap terhadap sasaran kegiatan (positif atau negatif)
4.    Indikator motivasi keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa.
Menurut Yosep (2010), pada dasarnya indikator motivasi keluarga dalam melakukan perawatan pasien gangguan jiwa terbagi atas dua yaitu:
a.    Motivasi yang berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Motivasi tersebut timbul karena ada ikatan atau hubungan baik secara emosional maupun secara tali kekeluargaan dengan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Motivasi untuk melakukan perawatan pada pasien dengan gangguan jiwa akan semakin kuat apabila hubungan anggota keluarga dengan pasien sangat erat seperti orang tua kepada anaknya atau istri kepada suaminya.
b.    Motivasi yang berasal dari luar lingkungan keluarga seperti tetangga atau keluarga jauh yang ikut memberikan dorongan kepada keluarga untuk terus melakukan upaya penyembuhan dan perawatan pada pasien yang menderita gangguan jiwa. Motivasi dari luar dapat berupa pendapat orang lain, hukuman, tekanan sosial dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
1.    Pengertian
Menurut Warhola dalam Eva (2008) perawatan kesehatan rumah adalah suatu pelayanan kesehatan secara komprehensif yang diberikan kepada klien individu dan atau keluarga di tempat tinggal mereka (di rumah), bertujuan untuk memandirikan klien dalam pemeliharaan kesehatan, peningkatan derajat kesehatan, upaya pencegahan penyakit dan resiko kekambuhan serta rehabilitasi kesehatan.
Selanjutnya perawatan kesehatan rumah juga dapat diartikan sebagai kesatuan yang memungkinkan pelayanan kesehatan dilakukan secara bersamaan ataupun kombinasi dari berbagai profesi kesehatan dalam kesatuan tim untuk mencapai dan mempertahankan status kesehatan klien secara optimal. Khususnya pada klien yang memerlukan pelayanan akibat penyakit yang akut, kronis atau terminal yang memburuk.
Perawatan pasien gangguan jiwa di rumah tentu saja sebagian besar dilakukan oleh keluarga karena keluarga merupakan unit yang paling dekat denganklien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah karena dapat mengakibatkan klien harus dirawat kembali (Nasir & Muhith, 2011).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perawatan kesehatan rumah diberikan kepada individu dan keluarga di rumah tinggal mereka yang melibatkan berbagai disiplin ilmu atau profesi dalam suatu tim kesehatan untuk melakukan perawatan kesehatan di rumah. Dengan tujuan untuk memberikan kondisi yang sehat secara optimal dan terbebasnya klien dari penyakit yang diderita (Eva, 2008).
2.    Tipe Pelayanan Kesehatan Rumah
Menurut Eva (2008), ada beberapa tipe pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan di rumah yaitu antara lain:
1.    Perawatan Berdasarkan Penyakit
Program pelayanan kesehatan yang memerlukan perawatan kesehatan, pemantauan proses penyembuhan dan mengupayakan untuk tidak terjadi kekambuhan dan perawatan ulang ke Rumah Sakit. Umumnya dikoordinasikan dengan tim kesehatan dari beberapa disiplin ilmu atau profesi kesehatan misalnya dokter, fisioterapi, gizi dan lain-lain.
2.    Pelayanan Kesehatan Umum
Pelayanan kesehatan ini berfokus pada pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
3.    Pelayanan Kesehatan Khusus
Pelayanan kesehatan khusus pada kondisi klien yang memerlukan teknologi tinggi, misalnya; pediatric care, chemoterapi, psychiatric mental health care. Melalui persiapan teknologi medis dan keperawatan memungkinkan situasi rumah sakit dapat dilakukan di rumah. Disamping itu pelayanan ini akan memberikan efisiensi biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
3.    Peranan Keluarga Pada Klien Gangguan Jiwa.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement & Buchanan dalam Yosep, 2008).
Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya.
Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger dalam Yosep, 2008). Menurut Sullinger, klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.
4.    Peran Keluarga dalam Mencegah Kekambuhan Klien.
Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger dalam Yosep (2008):
1.      Klien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25%-50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
2.      Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3.      Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.
4.      Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga, klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi biasanya mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya, memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien gangguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu:
1.       Menjadi ragu-ragu dan serba takut (Nervous)
2.       Tidak nafsu makan
3.       Sukar konsentrasi
4.       Sulit tidur
5.       Depresi
6.       Tidak ada minat
7.       Menarik diri
Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ruangan perawatan”. Perawat, klien dan keluarga bersama untuk membantu proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas.
5.      Keluarga yang Berpotensi Menimbulkan Gangguan Jiwa.
Keluarga-keluarga dengan kondisi tertentu berpotensi untuk memilki anggota gangguan jiwa. Sehingga dalam berkeluarga perlu mencari ilmu untuk menentukan strategi yang diterapkan dalam mencapai visi atau tujuan keluarga (Yosep, 2008). Potensi-potensi tersebut adalah:
1.    Tidak ada nilai agama di rumah tangga
2.    Tidak ada penanggung jawab ekonomi
3.    Kemiskinan
4.    Ada anggota yang melakukan kriminalitas
5.    Kekerasan di rumah tangga
6.    Lingkungan yang buruk
7.    Sering ada pertengkaran
8.    Tidak ada komunikasi
9.    Salah satu anggota menggunakan NAPZA
10.  Tidak ada model



DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial, Rhineka Cipta. Jakarta
Arikunto, S. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT. Rhineka Cipta. Jakarta
Cloninger dalam Yosep.  Iyus. 2008. Keperawatan Jiwa.PT. Refika Aditha. Bandung
Dinkes Sekadau. 2013. Profil Kesehatan Dinkes. Kab. Sekadau. Sekadau
Hawari, Dadang. 2001.  Pendekatan Holistik pada gangguan jiwa skiofrenia. Balai penerbit fakultas kedokteran UI. Jakarta
Keliat ,Budi, Anna. 2005. Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa. EGC. Jakarta
Litbang. 2005. Macam-macam gangguan jiwa. Internet di akses darihhtp;//www. Balapost.cot.id
Maramis. W. E. 2004. Cacatan  Ilmu Kedokteran Jiwa  Surabaya. Erlangga
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Perilaku Kesehatan Catakan 1. AndiOffset. Yogyakarta
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rhineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku. PT. Rhineka Cipta. Jaarta
Puskesmas SP III Trans. 2013. Profil Puskesmas SP III Trans. Sekadau
Sugiyono. 2007. Statistik untuk penelitian. AlFABETA. Bandung
Susana. 2007. Tes Psikologi. PT.Indeks. Jakarta
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Refika Adhiatma. Bandung
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan jiwa. Refika Adhiatma. Bandung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar