A. Gangguan Jiwa
1. Pengertian
Gangguan
jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),
emosi (affective), tindakan (psychomotor). Dari berbagai
penelitian dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari
keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun
dengan mental (Yosep, 2007).
2. Penyebab Gangguan Jiwa
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor-faktor organobiologis yaitu seperti neuroanatomi, neurofisiologi,
neurokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik dan faktor-faktor pre
dan peri-natal.
2. Faktor-faktor psikoedukatip yaitu antara lain interaksi ibu-anak;
kehilangan figur ibu karena bekerja atau terpaksa meninggalkan anak (perasaan
tak percaya dan kebimbangan), peranan ayah, persaingan antara saudara kandung,
inteligensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, kehilangan yang mengakibatkan
kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah, konsep diri: pengertian
identitas diri: apakah saya laki atau perempuan?, keterampilan, bakat dan
kreativitas, pola adaptasi sebagai reaksi terhadap bahaya, tingkat perkembangan
emosi
3. Faktor-faktor sosiokultural antara lain kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan masalah di perkotaan atau pedesaan,
masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan,
pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai, pengaruh rasial diskriminatif
dan keagamaan serta nilai-nilai.
Menurut Yosep (2010), selain faktor-faktor di atas, penyebab gangguan
jiwa juga dapat dibedakan atas beberapa faktor yaitu:
1. Faktor Keturunan
Pada mongoloisme
atau sindroma down (suatu macam
retardasi mental dengan mata sipit, muka datar, telinga kecil, jari-jari pendek
dan lain-lain) terdapat trisoma (yaitu tiga buah, bukan dua) pada pasangan kromosoma nomor 21. Sindroma Turner
(dengan ciri-ciri khas: tubuh pendek, leher melebar, infantilisme sexual) ternyata berhubungan dengan jumlah kromosoma sex yang abnormal. Gangguan
yang berhubungan dengan kromosoma sex
dikatakan “terikat pada sex” (“sex linked”), artinya bahwa efek genetik
itu hanya terdapat pada kromosoma sex.
Kaum wanita ternyata lebih kurang peka terhadap gangguan yang terikat pada sex, karena mereka mempunyai dua
kromosoma X: bila satu tidak baik, maka yang lain biasanya akan melakukan
pekerjaannya. Akan tetapi seorang pria hanya mempunyai satu kromosoma X dan
satu kromosoma Y, dan bila salah satu tidak baik, maka terganggulah ia. Masih
dipermasalahkan, betulkah pria dengan XYY lebih cenderung melakukan perbuatan
kriminal yang kejam?
2. Faktor Konstitusi
Konstitusi pada umumnya menunjukkan kepada
keadaan biologik seluruhnya, termasuk baik yang diturunkan maupun yang didapati
kemudian; umpamanya bentuk badan (perawakan), sex, temperamen, fungsi endoktrin daurat syaraf jenis darah.
Jelas bahwa hal-hal ini mempengaruhi perilaku
individu secara baik ataupun tidak baik, umpamanya bentuk badan yang atletik
atau yang kurus, tinggi badan yang terlalu tinggi ataupun terlalu pendek, paras
muka yang cantik ataupun jelek, sex
wanita atau pria, fungsi hormonal yang seimbang atau yang berlebihan salah satu
hormon, urat syaraf yang cepat reaksinya atau yang lambat sekali, dan
seterusnya. Semua ini turut mempengaruhi hidup seseorang.
3. Cacat Kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat
mempengaruhi perkembangan jiwa anak, terlebih yang berat, seperti retardasi
mental yang berat. Akan tetapi pada umumnya pengaruh cacat ini pada timbulnya
gangguan jiwa terutama tergantung pada individu itu, bagaimana ia menilai dan
menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang cacat atau berubah itu.
Cacat badaniah biasanya dapat dilihat dengan
jelas, tetapi gangguan sistim biokimiawi lebih halus dan sukar ditentukan. Gangguan
badaniah dapat mengganggu fungsi biologik atau psikologik secara langsung atau
dapat mempengaruhi daya tahan terhadap stres.
4. Perkembangan Psikologik yang Salah
a. Ketidakmatangan atau fixasi, yaitu inidvidual gagal berkembang lebih
lanjut ke fase berikutnya;
b. “Tempat-tempat lemah” yang
ditinggalkan oleh pengalaman yang traumatik sebagai kepekaan terhadap jenis
stres tertentu.
c. Disorsi, yaitu bila inidvidu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang
tidak sesuai atau gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal. Kita akan
membicarakan beberapa faktor dalam perkembangan psikologik yang tidak sehat
5. Deprivasi Dini
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu
di rumah sendiri, terpisah dengan ibu atau di asrama, dapat menimbulkan
perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari lingkungan, bila
sangat berat, ternyata berhubungan dengan retardasi mental. Kekurangan protein
dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun,
dapat mengakibatkan retardasi mental.
Eprivasi atau frustrasi dini dapat
menimbulkan “tempat-tempat yang lemah” pada jiwa, dapat mengakibatkan
perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk perkembangan
psikologik rupanya ada “masa-masa gawat”. Dalam masa ini rangsangan dan
pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan
sangat perlu bagi urut-urutan perkembangan intelektual, emosional dan sosial
yang normal
6. Pola Keluarga yang Petagonik
Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang
peranan yang penting dalam pembentukan kepribadian. Hubungan orang tua-anak
yang salah atau interaksi yang patogenik dalam keluarga sering merupakan sumber
gangguan penyesuaian diri.
Kadang-kadang orang tua berbuat terlalu
banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak itu berkembang sendiri. Ada
kalanya orang tua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak itu atau
tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya. Kadang-kadang mereka
malahan mengajarkan anak itu pola-pola yang tidak sesuai. Akan tetapi pengaruh
cara asuhan anak tergantung pada keadaan sosial secara keseluruhan dimana hal
itu dilakukan. Dan juga, anak-anak bereaksi secara berlainan terhadap cara yang
sama dan tidak semua akibat adalah tetapi kerusakan dini sering diperbaiki
sebagian oleh pengalaman di kemudian hari. Akan tetapi beberapa jenis hubungan
orangtua-anak sering terdapat dalam latar belakang anak-anak yang terganggu,
umpamanya penolakan, perlindungan berlebihan, manja berlebihan, tuntutan
perfeksionistik, standard moral yang kaku dan tidak realistik, disiplin yang
salah, persaingan antar saudara yang tidak sehat, contoh orang tua yang salah,
ketidak-sesuaian perkawinan dan rumah tangganya yang berantakan, tuntutan yang
bertentangan.
7. Masa Remaja
Masa remaja dikenal sebagai masa gawat dalam perkembangan
kepribadian, sebagai masa “badai dan stres”. Dalam masa ini individu dihadapi
dengan pertumbuhan yang cepat, perubahan-perubahan badaniah dan pematangan
sexual. Pada waktu yang sama status sosialnya juga mengalami perubahan, bila
dahulu ia sangat tergantung kepada orang tuanya atau orang lain, sekarang ia
harus belajar berdiri sendiri dan bertanggung jawab yang membawa dengan
sendirinya masalah pernikahan, pekerjaan dan status sosial umum. Kebebasan yang
lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula.
8. Genetika
Menurut Cloninger dalam Yosep (2008), gangguan jiwa terutama gangguan persepsi
sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor
genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu
yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki
kecenderungan lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor
herediter.
Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah,
ibu, saudara atau anak dari klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki
kecenderungan 10%, sedangkan keponakan atau cucu kejadiannya 2-4%. Individu
yang memiliki hubungan sebagai kembar identik dengan klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48%, sedangkan kembar dizygot memiliki
kecenderungan 14-17%. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh
yang diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga
klien yang mengalami gangguan jiwa.
9. Neurobiological, yaitu adanya gangguan pada struktur saraf otak
10. Biokimiawi tubuh
11. Neurobehavioral
12. Stress
13. Penyalahgunaan obat-obatan
14. Psikodinamik
15. Sebab Biologik
16. Sebab Psikologik
17. Sebab Sosio Kultural
3. Jenis Gangguan Jiwa yang Dirawat di Rumah
Klien yang dilakukan perawatan di rumah
adalah klien dengan gangguan kejiwaan yang sedang atau ringan sesuai dengan
jenis penyakit yang diderita pasien. Perawatan di rumah pada klien dengan
gangguan jiwa juga bisa dilakukan apabila merupakan kelanjutan dari perawatan
setelah keluar dari rumah sakit (Yosep, 2008).
Klien dengan gangguan jiwa sangat rentan
terhadap perilaku sosial masyarakat dimana terkadang masyarakat sekitar kurang
mengerti kondisi yang dialami oleh klien dengan gangguan jiwa.
Selain itu juga perlu diperhatikan kondisi di
rumah yang dapat memicu kambuhnya kembali penyakit yang diderita klien. Untuk
itu perawatan klien di rumah tidak hanya dilakukan kepada klien tetapi juga
harus dilakukan promosi kesehatan kepada keluarga agar mendukung upaya
penyembuhan atau rehabilitasi penyakit klien.
2.
Motivasi Keluarga dalam Melakukan Perawatan Pasien Gangguan Jiwa
1. Pengertian Motivasi
Walgito dalam Jamilatun (2008),
mendefinisikan motivasi merupakan keadaan dalam diri individu atau organisme
yang mendorong perilaku kearah tujuan. Sehingga dapat disimpulkan motivasi
keluarga dalam melakukan perawatan pasien gangguan jiwa adalah daya dalam diri,
sebagai penggerak, pendorong, merupakan kehendak atau alasan yang diberikan
kepada keluarga untuk membangkitkan, mengarahkan, mengontrol, menjalankan
tingkah laku atau bertindak serta berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam
mencapai tujuan tertentu atau yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan baik
fisik maupun psikis.
2. Jenis Motivasi
Moekijat dalam Jamilatun
(2008), mengklasifikasikan motivasi menjadi dua yakni:
a. Motivasi intrinsik berasal dari dalam diri manusia, biasanya timbul dari
perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga manusia menjadi puas, kebutuhan
dan keinginan-keinginan yang terdapat dalam diri seseorang individu akan menambah
motivasi internnya.
b. Motivasi ekstrinsik berasal dari luar yang merupakan pengaruh dari orang
lain atau lingkungan. Termasuk masalah pendapatan, hubungan kerja, penghargaan
akan prestasi yang telah dicapai, promosi dan tanggung jawab.
3. Cara Pengukuran Motivasi
Keluarga Pasien Dengan Gangguan Jiwa
Menurut Makmun (2001),
meskipun motivasi merupakan suatu kekuatan, namun tidaklah merupakan suatu
substansi yang dapat kita amati. Yang dapat kita lakukan ialah mengidentifikasi
beberapa indikatornya dalam term-term tertentu antara lain:
1)
Durasinya
kegiatan (berapa lama kemampuan penggunaan waktunya untuk melakukan kegiatan).
2)
Frekuensinya
kegiatan (berapa sering kegiatan dilakukan dalam periode waktu tertentu).
3)
Persistensinya
(ketetapan dan kelekatannya) pada tujuan kegiatannya.
4)
Ketabahan,
keuletan dan kemampuannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk
mencapai tujuan.
5)
Devosi
(pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran bahkan jiwa atau nyawanya)
untuk mencapai tujuan.
6)
Tingkatan
aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita, sasaran atau target dan idolanya) yang
hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan.
7)
Tingkatan
kualifikasi prestasi atau produk atau output yang dicapai dari kegiatannya
(berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak).
8)
Arah
sikap terhadap sasaran kegiatan (positif atau negatif)
4. Indikator motivasi keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa.
Menurut Yosep (2010), pada dasarnya indikator motivasi keluarga dalam
melakukan perawatan pasien gangguan jiwa terbagi atas dua yaitu:
a. Motivasi yang berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Motivasi tersebut
timbul karena ada ikatan atau hubungan baik secara emosional maupun secara tali
kekeluargaan dengan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Motivasi
untuk melakukan perawatan pada pasien dengan gangguan jiwa akan semakin kuat
apabila hubungan anggota keluarga dengan pasien sangat erat seperti orang tua
kepada anaknya atau istri kepada suaminya.
b. Motivasi yang berasal dari luar lingkungan keluarga seperti tetangga
atau keluarga jauh yang ikut memberikan dorongan kepada keluarga untuk terus
melakukan upaya penyembuhan dan perawatan pada pasien yang menderita gangguan
jiwa. Motivasi dari luar dapat berupa pendapat orang lain, hukuman, tekanan
sosial dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
1. Pengertian
Menurut Warhola dalam Eva
(2008) perawatan kesehatan rumah adalah suatu pelayanan kesehatan secara
komprehensif yang diberikan kepada klien individu dan atau keluarga di tempat
tinggal mereka (di rumah), bertujuan untuk memandirikan klien dalam
pemeliharaan kesehatan, peningkatan derajat kesehatan, upaya pencegahan
penyakit dan resiko kekambuhan serta rehabilitasi kesehatan.
Selanjutnya perawatan kesehatan rumah juga dapat diartikan sebagai
kesatuan yang memungkinkan pelayanan kesehatan dilakukan secara bersamaan
ataupun kombinasi dari berbagai profesi kesehatan dalam kesatuan tim untuk
mencapai dan mempertahankan status kesehatan klien secara optimal. Khususnya
pada klien yang memerlukan pelayanan akibat penyakit yang akut, kronis atau
terminal yang memburuk.
Perawatan pasien gangguan jiwa di rumah tentu saja sebagian besar
dilakukan oleh keluarga karena keluarga merupakan unit yang paling dekat
denganklien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan
perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah karena
dapat mengakibatkan klien harus dirawat kembali (Nasir & Muhith, 2011).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perawatan kesehatan
rumah diberikan kepada individu dan keluarga di rumah tinggal mereka yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu atau profesi dalam suatu tim kesehatan untuk
melakukan perawatan kesehatan di rumah. Dengan tujuan untuk memberikan kondisi
yang sehat secara optimal dan terbebasnya klien dari penyakit yang diderita
(Eva, 2008).
2. Tipe Pelayanan
Kesehatan Rumah
Menurut Eva (2008), ada beberapa tipe pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan di rumah yaitu antara lain:
1. Perawatan Berdasarkan Penyakit
Program pelayanan kesehatan yang memerlukan
perawatan kesehatan, pemantauan proses penyembuhan dan mengupayakan untuk tidak
terjadi kekambuhan dan perawatan ulang ke Rumah Sakit. Umumnya dikoordinasikan
dengan tim kesehatan dari beberapa disiplin ilmu atau profesi kesehatan
misalnya dokter, fisioterapi, gizi dan lain-lain.
2. Pelayanan Kesehatan Umum
Pelayanan kesehatan ini berfokus pada
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
3. Pelayanan Kesehatan Khusus
Pelayanan kesehatan khusus pada kondisi klien
yang memerlukan teknologi tinggi, misalnya; pediatric
care, chemoterapi, psychiatric mental health care. Melalui persiapan
teknologi medis dan keperawatan memungkinkan situasi rumah sakit dapat
dilakukan di rumah. Disamping itu pelayanan ini akan memberikan efisiensi biaya
pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
3. Peranan Keluarga Pada Klien Gangguan Jiwa.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan
“perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan
yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat
sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus
dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan
meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan
dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat
dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana
individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga
merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan
mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement & Buchanan dalam Yosep, 2008).
Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik
keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini
merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi
pada salah satu anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya
disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila
ayah sakit maka akan mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk
keluarga lainnya.
Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang
tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger dalam Yosep, 2008). Menurut Sullinger,
klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun
pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari
rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.
4. Peran Keluarga dalam Mencegah Kekambuhan Klien.
Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit,
menurut Sullinger dalam Yosep (2008):
1.
Klien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang
gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25%-50% klien yang pulang dari rumah
sakit tidak memakan obat secara teratur.
2.
Dokter (pemberi resep): Makan obat yang
teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang
lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat
mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3.
Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang
ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi
klien di rumah.
4. Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan
ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan
dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi
emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang
menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan
(kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga, klien dan keluarga dapat
mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi biasanya mengumpulkan semua anggota
keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya, memberi
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien gangguan jiwa,
memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan
keluarganya yaitu:
1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (Nervous)
2. Tidak nafsu makan
3. Sukar konsentrasi
4. Sulit tidur
5. Depresi
6. Tidak ada minat
7.
Menarik diri
Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan
lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa.
Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai
“ruangan perawatan”. Perawat, klien dan keluarga bersama untuk membantu proses
adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak
dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di
puskesmas.
5.
Keluarga yang Berpotensi Menimbulkan Gangguan
Jiwa.
Keluarga-keluarga dengan kondisi tertentu berpotensi untuk memilki
anggota gangguan jiwa. Sehingga dalam berkeluarga perlu mencari ilmu untuk
menentukan strategi yang diterapkan dalam mencapai visi atau tujuan keluarga
(Yosep, 2008). Potensi-potensi tersebut adalah:
1. Tidak ada nilai agama di rumah tangga
2. Tidak ada penanggung jawab ekonomi
3. Kemiskinan
4. Ada anggota yang melakukan kriminalitas
5. Kekerasan di rumah tangga
6. Lingkungan yang buruk
7. Sering ada pertengkaran
8. Tidak ada komunikasi
9. Salah satu anggota menggunakan NAPZA
10. Tidak ada model
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu. 2007. Psikologi Sosial, Rhineka
Cipta. Jakarta
Arikunto,
S. 2008. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik. PT. Rhineka Cipta. Jakarta
Cloninger
dalam Yosep. Iyus. 2008. Keperawatan Jiwa.PT. Refika Aditha.
Bandung
Dinkes
Sekadau. 2013. Profil Kesehatan Dinkes.
Kab. Sekadau. Sekadau
Hawari,
Dadang. 2001. Pendekatan Holistik pada gangguan jiwa skiofrenia. Balai penerbit
fakultas kedokteran UI. Jakarta
Keliat
,Budi, Anna. 2005. Peran serta keluarga
dalam perawatan klien gangguan jiwa. EGC. Jakarta
Litbang.
2005. Macam-macam gangguan jiwa.
Internet di akses darihhtp;//www. Balapost.cot.id
Maramis.
W. E. 2004. Cacatan Ilmu Kedokteran Jiwa Surabaya. Erlangga
Notoatmodjo,
S. 2003. Pendidikan Perilaku Kesehatan
Catakan 1. AndiOffset. Yogyakarta
Notoatmodjo,
S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Rhineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo,
S. 2010. Ilmu Perilaku. PT. Rhineka
Cipta. Jaarta
Puskesmas
SP III Trans. 2013. Profil Puskesmas SP
III Trans. Sekadau
Sugiyono.
2007. Statistik untuk penelitian.
AlFABETA. Bandung
Susana.
2007. Tes Psikologi. PT.Indeks.
Jakarta
Yosep,
Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Refika
Adhiatma. Bandung
Yosep,
Iyus. 2010. Keperawatan jiwa. Refika
Adhiatma. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar