Jumat, 10 Juli 2015

HIV / AIDS


          HIV dan AIDS
a)    HIV (Human lmmunodeficiency Virus)
Human Immunodeficiency Virusyang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan Acquired Immuno Deficiency Syndromeyang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. (Depkes RI, 2013)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang.HIV menyebabkan kerusakan sistem imun dan menghancurkannya.Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam, 2007: 40)
Menurut Hutapes (2004), HIV yaitu jasad renik yang menyebabkan AIDS. HIV melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, terutama sel-sel darah putih yang membantu dalam menghadang penyakit.
12
Melihat beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa Human lmmunodeficiency Virusyang disingkat HIVadalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.

b)    AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Acquired Immuno Deficiency Syndromeyang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. sedangkan Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV (Depkes RI, 2013).
AIDS merupakan suatu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh sangat menurun karena HIV, sehingga menyebabkan individu beresiko tinggi menderita penyakit fatal Sarcoma Kaposi, jenis kanker limpa yang jarang terjadi dan berbagai macam infeksi jamur, virus dan bakteri yang berbahaya (Davidson, 2004).
Melihat beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan Acquired Immunodeficiency Syndrome atau disingkat AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya.Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia.


b.    Sejarah HIV dan AIDS
a)    Sejarah HIV
Pada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Perancis berhasil mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati.Pada awalnya, virus itu disebut ALV (Lymphadenopathy-Associated Virus) bersama dengan Luc Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS.
Pada awal tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang disebut HTLV-III. Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.
Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2.Melalui kloning dan analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenic berbeda. Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung.
Penelitian lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.


b)    Sejarah AIDS
Pertama kali kasus AIDS dilaporkan oleh Center For Diease Control (CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok homoseks di California dan New York pada tahun 1981. Pada mereka ditemukan adanya sarkoma kaposi, pneumonia pneumocystis carinii, dan beberapa gejala klinis yang jarang muncul.
Gejala penyakit tersebut semakin jelas sebagai akibat adanya kegagalan sistem imun dan karenanya disebut AIDS. Kasus serupa dilaporkan dari Eropa Barat, Australia, Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Teori tentang adanya faktor infeksi sebagai penyebab baru dapat dikonfirmasi pada tahun 1983 dengan diisolasinya virus penyebab AIDS yang sekarang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Notoatmodjo, 2007: 315).
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2.HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh.HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari Simpanse Pan Troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.
Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.

c.    Siklus Hidup HIV dan AIDS
Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.
Selain itu HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya Enzim transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA. Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV.
Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagian genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh. Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus. Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.

d.    Deteksi HIV
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Pasien dinyatakan sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita (Mansjoer, 2000: 165).
Umumnya ada 3 (tiga) tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV. Tes reaksi berantai Polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia.Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT). PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus.
Deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin.
Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan.
Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western Blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.

e.    Gejala dan Komplikasi HIV/AIDS
Gejala mayor HIV/AIDS menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah sebagai berikut :
a)    Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam waktu yang singkat
b)    Diare tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c)    Demam berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Gejala minor HIV/AIDS menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah sebagai berikut :
a)    Batuk berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
b)    Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c)    Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
d)    Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak, dan lipatan paha.
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien. Beberapa gejala dan komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat dari infeksi HIV-AIDS antara lain sebagai berikut :
a)    Pneumonia Pneumocystis
Pneumonia Pneumocystis jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis Jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian.Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.

b)    Tuberkulosis (TBC)
TBC merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan.Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan.
Stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (Tuberkulosis Ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.
TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.

c)    Esofagitis
Esofagitisadalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh microbacteria, meskipun kasusnya langka.



d)    Diare Kronis
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia Coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti Kriptosporidiosis, Mikrosporidiosis, Mycobacterium Avium Complex, dan virus Sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri.
Diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium Difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.

e)    Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma Gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (Toksoplasma Ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis Kriptokokaladalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus Neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

f)     LeukoensefalopatiMultifokalProgresif
Leukoensefalopati Multifokal Progresifadalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS.Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.

g)    Kompleks DemensiaAIDS
Merupakan suatu penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV, dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah.

h)    SarkomaKaposi
Sarkoma Kaposiadalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

i)      Kanker Getah Bening Tingkat Tinggi (Limfoma Sel B)
Limfoma Sel B adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's Lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-Like Lymphoma),diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh Virus Epstein-Barratau Virus Herpes Sarkoma Kaposi.

f.     Pengelompokkan HIV dan AIDS Menurut WHO (World Health Organization)
World Health Organization (WHO)pada tahun 1990, mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik(IO) yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
a)    Stadium I
Infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS.
b)    Stadium II
Termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang.
c)    Stadium III
Termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
d)    Stadium IV
Termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

g.    Tes HIV
Kebanyakanorang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western Blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (Window Period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes.
Terdapat juga tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

h.    Proses HIV menjadi AIDS
a)    Fase Pertama : HIV (Periode Jendela)
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period.Lama window period antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan (Nursalam, 2007: 47).

b)    Fase Kedua : Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala.Keadaan ini dapat berlangsung selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain (Nursalam, 2007: 47).

c)    Fase Ketiga (muncul gejala)
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized lymphadenophaty).Tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih dari satu bulan (Nursalam, 2007: 47).

d)    Fase Keempat (AIDS)
Meliputi semua gejala klinis yang terkait dengan AIDS. Ditambah dengan jumlah hari dimana pasien terbaring sakit lebih dari setengah bulan, dalam sebulan terakhir (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010).

i.      Tanda-Tanda Klinis Penderita HIV/AIDS
Tanda-tanda klinis penderita HIV/AIDS berupa hal-hal sebagai berikut :
a)    Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1bulan.
b)    Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c)    Demam berkepanjangan lebihdari 1 bulan.
d)    Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis.
e)    Dimensia HIVensefalopati.
f)     Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
g)    Dermatitis generalisata yang gatal.
h)    Herpes zoster multisegmental danberulang.
i)      Infeksi jamur berulang pada alat kelamin.

j.      Penularan HIV dan AIDS
a)    Hubungan Seksual
Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia. Penularan mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genetalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks vagina, dan risiko lebih besar pada reseptif daripada insertif (Notoatmodjo, 2007: 315).

b)    Kontak Langsung dengan Darah, Produk Darah, atau Jarum Suntik
Transfusi darah atau produk darah yang tercemar mempunyai risiko sampai >90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia. Pemakaian jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan spuitnya pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% total kasus sedunia. Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan mempunyai risiko 0,5%, dan mencakup <0,1% total kasus sedunia (Mansjoer, 1977: 163).

c)    Lewat Air Susu Ibu (ASI)
Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (mother-to-child transmission) berkisar antara 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010).

k.    Kelompok Resiko Tinggi Terinfeksi HIV/AIDS
Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki, pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya, waria, penjaja seks dan pelanggannya, serta lelaki suka lelaki. Karena kekhususannya, narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.

l.      Pengobatan HIV dan AIDS
Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang. Sistem imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi-infeksi oportunistik yang dapat muncul secara bersamadan berakhir pada kematian. Sementara itu belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok antara lain:
a)    Pengobatan Suportif
Pengobatan yang dilakukan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin, dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Pengobatan infeksi oportunistik dilakukan secara empiris.
b)    Pengobatan Infeksi Oportunistik
Pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris.
c)    Pengobatan Antiretroviral (ARV)
ARV bekerja langsung menghambat perkembangbiakan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat enzim protease. Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat secara langsung, dan resistensi HIV terhadap obat ARV (Depkes RI, 2006: 30).

m.   Pencegahan HIV dan AIDS
Pencegahan penularan HIV dilakukan secara primer, yang mencakup mengubah perilaku seksual dengan menetapkan prinsip ABCD, yaitu :
a)    A atau Abstinence, yaitu menunda kegiatan seksual (tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah).
b)    B atau BeFaithful, yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah.
c)    C atau Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks beresiko.
d)    D atau Dont Drugs, yaitu tidak menggunakan NAPZA terutama NAPZA suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku beresiko, khususnya pada remaja.

B.   Situasi Epidemi HIV dan AIDS
a.    Status Epidemi Global
AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan global.Sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25 juta telah meninggal dunia akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV sekitar 35 juta orang.(Sumber : Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014)
Setiap hari terdapat 7400 orang baru terkena HIV atau 5 orang per menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS. (Sumber: Report on the global AIDS epidemic, UNAIDS, 2008)
Negara-negara di Asia terdapat 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemic adalah tiga perilaku yang beresiko tinggi, yaitu seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik dikalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi. (Sumber: Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014)





b.    Status Epidemi di Indonesia
Sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada tahun 1987 di Bali, jumlah kasus menjadi bertambah secara perlahan menjadi 225 kasus di tahun 2000. Sejak itu kasus AIDS bertambah cepat dipicu olehpengguna napza suntik. Pada tahun 2006, sudah terdapat 8.194 kasus AIDS. Pada akhir Juni 2009 dilaporkan sebesar 17.699 pasien AIDS, 15.608 orang diantaranya adalah golongan usia produktif antara 25-49 tahun (80%). (Sumber : Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014)

C.   Situasi Penanggulangan HIV dan AIDS
a.    Perkembangan Penanggulangan AIDS di Indonesia
Tahun 1987 Menteri Kesehatan membentuk panitia AIDS nasional yang diketuai oleh Dirjen P2MPL. Pada tahun 1994 dikeluarkan Keppres nomor 36 tahun 1994 tentang pembentukkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. KPA Nasional yang diketuai oleh Menko Kesra mengeluarkan strategi nasional dan rencana kerja lima tahun penanggulangan AIDS 1994-1998.
Berdasarkan strategi nasional tersebut, banyak mitra internasional mendukung pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.Setelah itu, beberapa kementrian mengeluarkan peraturan terkait upaya penanggulangan HIV, misalnya Peraturan Menteri Pendidikan No.9/U/1997 mengenai pencegahan HIV/AIDS melalui pendidikan, diikuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan No.303/U/1997 mengenai pedoman pelaksanaannya.
Tahun 2001, Indonesia menandatangani Deklarasi Komitmen Penanggulangan HIV dan AIDS UNGGAS. Untuk meningkatkan penanggulangan HIV dan AIDS, pada tahun 2004 Komitmen Sentani ditandatangi oleh beberapa menteri (Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama), Kepala BKKBN dan Ketua Komisi VII DPR RI, serta 6 gubernur,
Tahun 2003 Kementerian Kesehatan menyusun Rencana Strategis Penanggulangan AIDS sektor kesehatan. Sektor lain juga merespon adanya HIV dan AIDS, antara lain Kementerian Tenaga Kerja yang mengeluarkan Kepmennaker pada tahun 2004 untuk mengimplementasikan program HIV dan AIDS di tempat kerja, sedangkan Kementerian Sosial dan BKKBN membentuk unit yang manangani HIV dan AIDS.
Untuk menanggulangi masalah penularan HIV melalui penggunaan NAPZA suntik, pada tahun 2003 dibuat nota kesepahaman antara Menko Kesra selaku ketua KPA dan Kapolri selaku ketua BNN. Untuk mengkoordinasikan penanggulangan AIDS, pada tahun 2003 Menko Kesra menyusun Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2003-2007.

b.    Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan 27 tahun yang lalu (1987). Antara tahun 1987 dan 1997, peningkatan infeksi tampak lambat, upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang pertama di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden no 36 tahun 1994, yang kemudian disusul dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama (bulan Juni 1994).
Pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yang tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun).Lingkungan sosial dan legal yang mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar menyuntik secara sembunyi-sembunyi dengan berbagi alat suntik.Hal ini berdampak negatif pada semua orang yang terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV.
Dalam bulan Desember 2005, setelah mendengar penjelasan dari Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani dan staf sekretariat KPA Nasional, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yang baru, Ir Aburizal Bakrie berkesimpulan, bahwa AIDS bukan merupakan persoalan lokal, tetapi merupakan ancaman serius terhadap pembangunan bangsa Indonesia secara nasional, dengan perkataan lain, upaya penanggulangan yang terpencar-pencar, terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Atas dasar analisa tersebut, beliau berkesimpulan bahwa perlu ada perubahan dalam status, keanggotaan maupun tata kerja dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).
Enam bulan kemudian pada tanggal 13 Juli 2006, ditetapkanlah Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN yang baru ditugaskan untuk “meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi”.KPAN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dengan demikian meningkatkan posisi KPAN sebagai bagian dari aparat pembangunan bangsa yang mempunyai tanggung jawab secara nasional.
Berbeda dengan KPAN sebelumnya, KPAN dalam Perpres nomor 75 tahun 2006 lebih inklusif dengan penambahan anggota selain dari sektor pemerintah sipil dan militer, juga dari organisasi ODHA nasional, perwakilan dari komunitas LSM AIDS, dan organisasi profesi dan sektor swasta. Dr Nafsiah Mboi, salah seorang anggota KPAN ditetapkan sebagai sekretaris penuh waktu merangkap sebagai Kepala Sekretariat KPAN dan Ketua Tim Pelaksana KPAN. Permenkokesra nomor 5 tahun 2007 menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun (2006-2011) dan hanya bisa diperpanjang selama maksimum 1 masa bakti (5 tahun) lagi.
Dalam menjalankan mandatnya, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional memiliki 8 (delapan) tugas pokok dan fungsi yaitu :
a)    Menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
b)    Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan;
c)    Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
d)    Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat;
e)    Melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS;
f)     Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS;
g)    Mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
h)    Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.

D.   Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014 di Indonesia ditujukan untuk mencegah dan mengurangi resiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIVdan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar setiap individu menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan.
Strategi Nasional 2010-2014 merupakan kelanjutan dari Strategi Nasional 2007-2010 dengan memperhatikan hasil-hasil pelaksanaannya.Strategi yang dikembangkan ini berupaya untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dan sesuai dengan hasil rekomendasi dari kajian paruh waktu.Implementasi seluruh strategi ini dilakukan dengan koordinasi dengan melibatkan pemerintah dan peran aktif masyarakat, termasuk kelompok komunitas dan kelompok dukungan sebaya.
Berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014, terdapat beberapa program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a.    Program Pencegahan Penularan Melalui Alat Suntik
Populasi penasun didorong untuk mengikuti layanan alat suntik steril (LASS). Layanan initerus dikembangkan baik melalui LASS ditingkat komunitas maupun di layanan kesehatan seperti puskesmas. Ketersediaan LASS telah bertambah dari 17 unit layanan di tahun 2005 menjadi 182 unit layanan di tahun 2008, yaitu di 113 puskesmas dan 69 unit di beberapa LSM, STHP tahun 2007 menemukan bahwa lebih banyak penasun pergi ke layanan di komunitas (LSM) daripada di puskesmas.
Layanan di puskesmas perlu ditingkatkan agar menjadi lebih mudah diakses oleh penasun. Layanan tersebut menyediakan informasi dan penukaran alat suntik steril kepada penasun. Sampai dengan tahun 2008, terdapat 49.000 penasun yang telah mengakses layanan alat suntik steril.Program pencegahan penularan melalui alat suntik di Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang belum dilaksanakan dengan baik, karena belum ditemukannya penyebaran atau penularan virus HIV melalui alat suntik.Hal inilah yang menjadi alasan pencegahan penularan melalui alat suntik di Kabupaten Sintang.

b.    Program Terapi Rumatan Metadon
Layanan terapi rumatan metadon disediakan untuk mengganti ketergantungan dan kebiasaan perilaku penasun terhadap penggunaan narkoba melalui alat suntik, sehingga dapat meminimalkan penularan HlV. Hingga akhir tahun 2008, telah tersedia 46 unit layanan terapi rumatan metadon yang dilaksanakan di puskesmas (27), rumah sakit (15) dan lapas (4). Jumlah pasien yang memperoleh layanan metadon sebanyak 2.711 orang atau baru 12% dari target tahun 2008 (21.790 orang).
Program terapi rumatan matadon belum dilaksanakan di Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang, karena di Kabupaten Sintang belum memiliki unit layanan terapi rumatan metadon, baik di puskesmas, rumah sakit maupun lapas.Hal inilah yang menjadi salah satu kendala dilaksanakannya program terapi rumatan metadon di Kabupaten Sintang.

c.    Program di Lembaga Pemasyarakatan
Program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dikembangkan sejak tahun 2007. Beberapa kebijakan yang telah tersedia antara lain adalah Stranas Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan; Rencana lnduk Penguatan Sistem dan Penyediaan Layanan Klinis Terkait HIV dan AIDS di Lapas/Rutan; Petunjuk Pelaksana Teknis Layanan Dukungan dan Pengobatan HIV dan AIDS di Lapas/Rutan; SOP Pelaksanaan Metadon di Lapas/Rutan; Surat Edaran Dirjen Permasyarakatan Tentang Monitoring dan Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas/Rutan.
Pada tahun 2010, Kemkumham menetapkan target sebanyak 96 penjara yang diharapkan dapat melaksanakan program pencegahan HIV dan AIDS secara komprehensif. Hingga saat ini sudah terdapat 15 Lapas yang melaksanakan layanan komprehensif untuk penanggulangan HIV dan AIDS, dan sampai bulan Juli 2009 terdapat 4.285 warga binaan yang telah mendapat lavanan VCT. Sudah terdapat 4 lapas yang telah menyediakan layanan metadon, dan hingga tahun 2008, sebanyak 1.079 WBP telah mengakses layanan terapi metadon.
Sudah terdapat 53 lapas yang bekerja sama dengan rumah sakit rujukan untuk menyediakan layanan ART,TB dan lO lainnya kepada WBP. Pelaksanaan program di lapas, dilakukan melalui kerjasama dengan LSM. Ada sekitar 26 LSM yang melakukan program di lapas termasuk untuk penjangkauan WBP.
Keterbatasan dana dan sumberdaya manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS, masih menjadi penghambat dalam implementasi program di Lapas. Dengan dukungan GF R8, akan diperluas program HlVdi82 lapas di 12 provinsi. Program tersebut meliputi penguatan kapasitas program di lapas, kerjasama dengan komunitas dan LSM dalam kaitannya dengan peningkatan informasi pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, konseling dan testing.
Program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Permasyarakatan Kabupaten Sintang dilakukan untuk seluruh warga binaan Lapas Sintang. Berbagai jenis kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas Sintang seperti :
a)    Memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada warga binaan Lapas;
b)    Konseling mengenai penyakit HIV dan AIDS;
c)    Pertemuan atau rapat koordinasi dengan KPA Kabupaten Sintang terkait penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas Kabupaten Sintang.

d.    Program Pencegahan Penularan HIV MelaluiTransmisi Seksual
Program pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dilakukan melalui promosikondom dan penyediaan layanan infeksi menular sekual. Pada tahun 2008, jumlahlayanan IMS yang telah tersedia adalah sebanyak 245 unit layanan, yang dilaksanakandi puskesmas, klinik swasta, klinik perusahaan maupun masyarakat. Program promosikondom telah dilaksanakan di lokasi dan kelompok komunitas. Kegiatan promosi kondomtelah menjangkau 27.180 WPS,403.030 pelanggan WPS, 27.810 Waria, 63.980 LSL dan50/20 penasun (Sumber: Data Cakupan, KPAN, Juni 2009).
Jumlah outlet kondom telahdikembangkan sebanyak 15.000 unit dan sebanyak 20 juta kondom telah didistribusikansetiap tahunnya baik secara gratis maupun komersial (Sumber: DKT, 2008). KPA Nasionaltelah berinisiatif untuk mengembangkan program komprehensif untuk pencegahan HIVdengan intervensi struktural di 12 kabupaten/kota termasuk penyediaan outlet kondom, yangakan dilanjutkan menjadi 36 lokasi hingga tahun 2014 dengan dukungan dana GF R8.
Program pencegahan penularan melalui transmisi seksual juga dilakukan secara terus menerus kepada remaja baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah melalui sektor pendidikan sebagai bagian dari pendidikan keterampilan hidup (life skill education). Program ini telah dilaksanakan dan bermanfaat terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat, dimana epidemi sudah meluas di masyarakat.
Program pencegahan penularan melalui transmisi seksual di Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang sudah dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan yaitu :
a)    Distribusi logistik kondom kepada setiap outlet-outlet yang telah ditentukan oleh KPA Kabupaten Sintang;
b)    Memberikan promosi kesehatan kepada remaja ataupun pelajar di Kabupaten Sintang (khususnya pelajar SMA);
c)    Memberikan promosi kesehatan kepada populasi kunci seperti Wanita Pekerja Seks (WPS).

e.    Program Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi (PMTCT)
Penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung mengalami peningkatan seiring denganmeningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupunakibat perilaku yang berisiko. Meskipun data prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayimasih terbatas, namun jumlah ibu hamil yang positif cenderung meningkat. Berdasarkanhasilproyeksi, jumlah ibu hamilpositif yang memerlukan layanan PMTCTakan meningkatdari 5.730 orang pada tahun 2010 menjadi 8.170 orang pada tahun 2014.
Sejak tahun 2007, upaya pencegahan penularan HIV melalui ibu ke bayi telah dilaksanakan dalam skala yang masih terbatas, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Hingga tahun 2008 telah tersedia layanan PMTCT sebanyak 30 layanan yang terintegrasi dalam layanan KIA (Antenatal Care). Jumlah ibu hamil yang mengikuti test HIV sebanyak 5.167 orang, dimana 1.306 (25%) diantaranya positif HlV. Namun baru 165 orang atau 12,6% yang memperoleh ARV prophylaxis yang dilaksanakan di 30 unit layanan. Program PMTCT juga telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga masyarakat khususnya untuk penjangkauan dan memperluas akses layanan ke PMTCT. Program Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi (PMTCT) dilakukan dengan cara melakukan screening test HIV pada setiap ibu hamil.
Program Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi di KPA Kabupaten Sintang sudah terlaksana. Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade Mohamad Djoen Sintang.Program Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi dilakukan dengan screening test HIV pada ibu hamil, yaitu untuk mengetahui apakah ibu hamil mengidap HIV dan AIDS atau tidak.

f.     Konseling dan Testing Sukarela (Voluntary Counseling and Testing)
Layanan kesehatan yang pertama dalam pencegahan adalah layanan VCT. Diharapkan seluruh populasi kunci mendapatkan pemeriksaan HIV melalui layanan ini. Salah satu tujuan dari promosi pencegahan adalah mendorong populasi kunci ke layanan VCT.
Hingga tahun 2008, jumlah layanan VCT terdapat sebanyak 547 unit, baik yang dilaksanakan olehpemerintah (383) maupun swasta dan masyarakat (164). Di daerah yang terjangkau kegiatanpencegahan layanan VCT mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 2004-2007 terjadipeningkatan layanan VCT terhadap populasi  kunci : PadaWPS dari 27% menjadi 41%;pelanggan WPS dari 6% menjadi 10%; Waria dari 47% menjadi 64%; LSL dari 19% menjadi 37% dan penasun dari 18% menjadi 41% (STHP 2007).
Layanan kesehatan dan VCT di KPA Kabupaten Sintang sudah terlaksana.Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade Mohamad Djoen Sintang dan Klinik IMS Sungai Durian Sintang.

g.    Program Perawatan Dukungan dan Pengobatan
Layanan perawatan, dukungan dan pengobatan ditahun 2009sudah diberikan oleh 154 rumahsakit rujukan dari sebelumnya 25 rumah sakit di tahun 2004. ODHA yang membutuhkanARV diperkirakan berjumlah 27.770 di tahun 2008 (10% darijumlah estimasi ODHA).
lnfeksi oportunistik yang paling banyak terjadi pada ODHA adalah Tuberkulosis yaitu mencapai 41% dari seluruh kasus infeksi oportunistik, kemudian diare kronis (21%) dankandidiasis (21%). lnfeksi oportunistik ini menyebabkan kematian pada ODHA. Di lembaga pemasyarakatan 22,68% kematian disebabkan HlV, 18,37% diakibatkan oleh TBC dan6,19% adalah akibat hepatitis (Sumber: Ditjen Pemasyarakatan, Kemkumham, 2008).
Pada Juni 2009 terdapat 12.493 ODHA sedang menjalani pengobatan ARV (atau 45% dari yang membutuhkan). Pada tahun 2008, angka kematian ODHA turun menjadi 17% dibandingkan sebelumnya 46% pada tahun 2006.
Program perawatan dukungan dan pengobatan di KPA Kabupaten Sintang sudah terlaksana.Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade Mohamad Djoen Sintang yaitu dengan terapi ARV teratur dan di Klinik IMS Sungai Durian Sintang yaitu dengan pengobatan dan perawatan Infeksi Menular Seksual (IMS).

E.    Teori Implementasi Kebijakan
George C. Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu :
a.    Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?
b.    Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan ?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi.Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi (communication), sumberdaya (resources), disposisi (disposition), dan struktur birokrasi (bureucratic structure) (George C. Edward dalam Widodo, 2011: 96-110).
a.    Komunikasi (Communication)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu :
a)    Tranformasi Informasi (Transformation)
Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.

b)    Kejelasan Informasi (Clarity)
Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.

c)    Konsistensi Informasi (Consistency)
Dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

b.    Sumber Daya (Resources)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.George C. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut :
a)    Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikasi, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang handal, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.

b)    Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

c)    Fasilitas (Facility)
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

d)    Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)
Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan.Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.

c.    Disposisi (Disposition)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran.Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

d.    Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri.Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standart Operation Procedur(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksib


F.    Kerangka Teori


Komunikasi
(Communication)


                                                                       Struktur Birokrasi
(Bureaucratic Structure)

Sumber Daya
(Resources)

Disposisi
(Disposition)

Implementasi
(Implementation)

 








                   Gambar 2.1 Kerangka Teori Implementasi menurut George C. Edward III



                          Sumber :George C. Edward III dalam Widodo (2011: 107)



 
DAFTAR PUSTAKA

A.B. Susanto, dkk. 2006. Strategi Organisasi. Yogyakarta : Asmara Books
Agustino, Leo. 2008. Dasar Dasar Kebijakan Publik. Bandung :Alfabeta.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. 
Aritonang, Mika V. 2008. Implementasi Tugas-Tugas PokokKomisi Penanggulangan “Acquired ImmuneDeficiency Syndrome” (AIDS) Daerah (KPAD)Dalam Penanggulangan HIV/AIDSDi Kabupaten GroboganTahun 2009. Tesis Tidak Diterbitkan. Universitas Diponegoro: Semarang.
Data HIV dan AIDS Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang tahun 2014.Sintang: 2014.
Hutapea, Ronald. 2011. AIDS dan PMS dan Pemerkosaan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
KPAN. 2014. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (online) http://www.aidsindonesia.or.id/. Diakses 01 Juni 2014.
______. 2014. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Jakarta : Australian AID.
______. 2013. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan III Tahun 2013 . Jakarta.
KPA Kalimantan Barat. 2013. Laporan Kasus HIV-AIDS di Provinsi Kalimantan Barat sampai dengan bulan Desember  2013. Pontianak: 2013.
KPA Kabupaten Sintang. 2014. Laporan Kasus HIV-AIDS di Kabupaten Sintang sampai dengan   bulan April 2014. Sintang: 2014.
Kumalasari, Ika Y. 2013. Perilaku Berisiko Penyebab Human Immunodeficiency Virus (HIV) Positif (Studi Kasus di Rumah Damai Kelurahan Cepoko Kecamatan Gunungpati Kota Semarang).Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Negeri Semarang : Semarang.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Nazir, M. 2011. Metode Penelitian. Bogor Selatan :Ghalia Indonesia.
Nawawi,Ismail. 2009.Public Policy. Surabaya : Putra Media Nusantara.
Notoadmodjo, S.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
______. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nugroho, Riant, 2008. Public Policy, Jakarta : Alex Media Komputindo.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu. Jakarta: Salemba Medika.
Panjaitan, Arif A. 2013. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Konsistensi Wanita Pekerja Seks (WPS) Menggunakan Kondom Untuk Pencegahan HIV dan AIDS Di Merano Kabupaten Sintang Tahun 2013.Skripsi Tidak Diterbitkan. STIKes Kapuas Raya: Sintang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta: 2013.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakayat RI Nomor : 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 Tentang Kebijakan Nasionall Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Jakarta : 2007

Rihaliza. 2010. Hubungan Konseling VCT dan Dukungan Sosial Dari Kelompok Dukungan Sebaya Dengan Kejadian Depresi Pada Pasien HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support.Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Andalas: Padang.
Rukmana, Novayanti S. 2013. Implementasi Program Jaminan Kesehatan GratisDaerah Di Puskesmas SumbangKecamatan Curio Enrekang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Hasanuddin: Makasar.
Subarsono, AG. 2010.Analisis Kebijkan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta.
Suharto, Edi.  2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
Widodo. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media
Winarno, Budi.2012. Kebijakan Publik. Yogyakarta: CAPS
______. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo






Tidak ada komentar:

Posting Komentar