HIV dan AIDS
a)
HIV (Human lmmunodeficiency Virus)
Human
Immunodeficiency Virusyang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan
Acquired Immuno Deficiency Syndromeyang
selanjutnya disingkat AIDS
adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. (Depkes
RI, 2013)
Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA
pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang
panjang.HIV menyebabkan kerusakan sistem imun dan menghancurkannya.Hal tersebut
terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri.
Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam,
2007: 40)
Menurut Hutapes
(2004), HIV yaitu jasad renik yang menyebabkan AIDS. HIV melumpuhkan sistem
kekebalan tubuh, terutama sel-sel darah putih yang membantu dalam menghadang
penyakit.
12
|
b) AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Acquired
Immuno Deficiency Syndromeyang selanjutnya disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam
tubuh seseorang. sedangkan Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya
disingkat ODHA adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV (Depkes RI, 2013).
AIDS merupakan
suatu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh sangat menurun karena HIV,
sehingga menyebabkan individu beresiko tinggi menderita penyakit fatal Sarcoma Kaposi, jenis kanker limpa yang
jarang terjadi dan berbagai macam infeksi jamur, virus dan bakteri yang
berbahaya (Davidson, 2004).
Melihat beberapa
definisi diatas, peneliti menyimpulkan Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau disingkat AIDS adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya.Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah
kekebalan pada tubuh manusia.
b. Sejarah HIV dan AIDS
a) Sejarah
HIV
Pada tahun
1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Perancis berhasil
mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom
limfadenopati.Pada awalnya, virus itu disebut ALV (Lymphadenopathy-Associated Virus) bersama dengan Luc Montagnier,
mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS.
Pada awal
tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus
penyebab AIDS yang disebut HTLV-III. Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti
bahwa ALV dan HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah
yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik
lagi disebut HIV-1.
Tidak lama
setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien
yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2.Melalui kloning dan
analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari
HIV-1 dan secara antigenic berbeda. Perbedaan terbesar lainnya antara kedua
strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung.
Penelitian
lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang
menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara
antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.
b) Sejarah
AIDS
Pertama kali
kasus AIDS dilaporkan oleh Center For
Diease Control (CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok homoseks di
California dan New York pada tahun 1981. Pada mereka ditemukan adanya sarkoma
kaposi, pneumonia pneumocystis carinii, dan beberapa gejala klinis yang jarang
muncul.
Gejala
penyakit tersebut semakin jelas sebagai akibat adanya kegagalan sistem imun dan
karenanya disebut AIDS. Kasus serupa dilaporkan dari Eropa Barat, Australia,
Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Teori tentang adanya faktor infeksi sebagai
penyebab baru dapat dikonfirmasi pada tahun 1983 dengan diisolasinya virus
penyebab AIDS yang sekarang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Notoatmodjo, 2007: 315).
Dua spesies
HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2.HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh.HIV-1 adalah sumber dari
mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan
berada di Afrika Barat.Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1
berasal dari Simpanse Pan Troglodytes
yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon,
dan Kamerun.
Banyak ahli
berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata
lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.
Teori yang lebih
kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa
epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat
dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian,
komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung
oleh bukti-bukti yang ada.
c. Siklus Hidup HIV dan AIDS
Seperti virus
lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang.
Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya
adalah CD4dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel
T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang
biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.
Selain itu HIV
juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda
limpa.Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas
di dalam sel. Selanjutnya Enzim
transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA
menjadi DNA. Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat
menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia. DNA virus yang menyisip di DNA
manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel.
Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan
memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.
Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk
membuat protein dan enzim HIV.
Sebagian RNA
dari provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagian genom RNA tersebut akan
dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh. Pada tahap
perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein
panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus. Apabila HIV utuh telah
matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel
berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan
mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.
d. Deteksi HIV
AIDS merupakan
stadium akhir infeksi HIV. Pasien dinyatakan sebagai AIDS bila dalam
perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi dan kanker
oportunistik yang mengancam jiwa penderita (Mansjoer, 2000: 165).
Umumnya ada 3 (tiga) tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes
antibodi HIV, dan tes antigen HIV. Tes reaksi berantai Polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat
(DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam
tubuh manusia.Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes
amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT). PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif
yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus.
Deteksi RNA
virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode
kuantitatif. Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada
11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk
mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu
dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan
menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.Untuk
mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi
untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang
terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin.
Sejak tahun
2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi
antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel
dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian,
kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif
maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan.
Tingkat
akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi
kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan
untuk pemeriksaan lanjut adalah Western
Blot.
Tes antigen
dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.
Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat
ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara
berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih
awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan
hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.
e. Gejala dan Komplikasi HIV/AIDS
Gejala mayor
HIV/AIDS menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah sebagai berikut :
a)
Penurunan
berat badan lebih dari 10% dalam waktu yang singkat
b)
Diare
tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c)
Demam
berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Gejala minor
HIV/AIDS menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah sebagai berikut :
a)
Batuk
berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
b)
Kelainan
kulit dan iritasi (gatal)
c)
Infeksi
jamur pada mulut dan kerongkongan
d) Pembengkakan kelenjar getah bening di
seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak, dan lipatan paha.
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh
bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur
sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
Infeksi
oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan
kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.Biasanya penderita AIDS memiliki
gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari),
pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.
Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup
pasien. Beberapa gejala dan komplikasi yang dapat ditimbulkan
akibat dari infeksi HIV-AIDS antara lain sebagai berikut :
a)
Pneumonia Pneumocystis
Pneumonia
Pneumocystis jarang dijumpai
pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya
dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis Jirovecii. Sebelum adanya
diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di
negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian.Di
negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS
pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak
muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.
b)
Tuberkulosis
(TBC)
TBC merupakan infeksi unik di antara
infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang
yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan.Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini
di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan
pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang
terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan.
Stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4
>300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut
infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian
tubuh lainnya (Tuberkulosis Ekstrapulmoner).
Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak
terbatasi pada satu tempat.
TBC yang menyertai infeksi HIV sering
menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa
regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
c)
Esofagitis
Esofagitisadalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke
lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi
jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus sitomegalo).
Penyakit ini juga
dapat disebabkan oleh microbacteria, meskipun kasusnya langka.
d)
Diare
Kronis
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada
infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan
parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan
Escherichia Coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus
(seperti Kriptosporidiosis,
Mikrosporidiosis, Mycobacterium Avium Complex, dan virus Sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab
kolitis). Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani
HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri.
Diare dapat juga merupakan efek
samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya
pada Clostridium Difficile). Pada
stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya
perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan
komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
e)
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma
Gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak
akut (Toksoplasma Ensefalitis), namun
ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis Kriptokokaladalah infeksi
meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus Neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin
mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
f)
LeukoensefalopatiMultifokalProgresif
Leukoensefalopati
Multifokal Progresifadalah
penyakit demielinasi, yaitu penyakit
yang menghancurkan selubung syaraf (mielin)
yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang
70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan
penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi
pada pasien AIDS.Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
g)
Kompleks
DemensiaAIDS
Merupakan
suatu penyakit penurunan
kemampuan mental (demensia) yang
terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV, dan didorong pula oleh terjadinya
pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi
HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak
dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul
bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah.
h)
SarkomaKaposi
Sarkoma
Kaposiadalah tumor
yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini
pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama
wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes
manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
i)
Kanker
Getah Bening Tingkat Tinggi (Limfoma Sel
B)
Limfoma
Sel B adalah kanker
yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening,
misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
Lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-Like
Lymphoma),diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf
pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini
seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh Virus
Epstein-Barratau Virus Herpes Sarkoma
Kaposi.
f. Pengelompokkan HIV dan AIDS Menurut WHO (World Health Organization)
World Health Organization (WHO)pada tahun 1990, mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi
dengan HIV-1.Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan
kondisi ini adalah infeksi oportunistik(IO)
yang dengan mudah
ditangani pada orang sehat.
a)
Stadium
I
Infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan
sebagai AIDS.
b) Stadium II
Termasuk
manifestasi membran mukosa kecil dan
radang saluran pernapasan atas yang berulang.
c)
Stadium
III
Termasuk
diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi
bakteri parah, dan tuberkulosis.
d)
Stadium
IV
Termasuk
toksoplasmosis otak, kandidiasis
esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
g. Tes HIV
Kebanyakanorang tidak menyadari bahwa mereka
terinfeksi virus HIV. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western Blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum,
plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode
antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (Window Period) bagi setiap orang dapat
bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui
serokonversi dan hasil positif tes.
Terdapat juga tes-tes komersial untuk mendeteksi
antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk
diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara
maju.
h. Proses HIV menjadi AIDS
a) Fase Pertama : HIV (Periode Jendela)
Infeksi
dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika
antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.Rentang
waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi
positif disebut window period.Lama window period antara satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan (Nursalam, 2007: 47).
b) Fase Kedua : Asimptomatik
(tanpa gejala)
Asimptomatik
berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan
gejala-gejala.Keadaan ini dapat berlangsung selama 5-10 tahun. Cairan tubuh
pasien HIV/AIDS yang tampak sehat sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain
(Nursalam, 2007: 47).
c) Fase Ketiga (muncul gejala)
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap
dan merata (persistent generalized
lymphadenophaty).Tidak
hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih dari satu bulan
(Nursalam, 2007: 47).
d) Fase Keempat (AIDS)
Meliputi semua gejala klinis yang
terkait dengan AIDS. Ditambah
dengan jumlah hari dimana pasien terbaring sakit lebih dari setengah bulan,
dalam sebulan terakhir (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010).
i. Tanda-Tanda Klinis Penderita HIV/AIDS
Tanda-tanda klinis penderita
HIV/AIDS berupa
hal-hal sebagai berikut :
a)
Berat
badan menurun lebih dari 10% dalam 1bulan.
b)
Diare
kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c)
Demam
berkepanjangan lebihdari 1 bulan.
d)
Penurunan
kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis.
e)
Dimensia
HIVensefalopati.
f)
Batuk
menetap lebih dari 1 bulan.
g)
Dermatitis generalisata yang gatal.
h)
Herpes
zoster multisegmental danberulang.
i)
Infeksi
jamur berulang pada alat kelamin.
j. Penularan HIV dan AIDS
a)
Hubungan
Seksual
Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, maupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
Penularan mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau
peradangan jaringan seperti herpes
genetalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar dibandingkan seks
vagina, dan risiko lebih besar pada reseptif daripada insertif (Notoatmodjo, 2007: 315).
b) Kontak Langsung dengan Darah, Produk
Darah, atau Jarum Suntik
Transfusi darah atau produk darah yang
tercemar mempunyai risiko sampai >90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia.
Pemakaian jarum suntik tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan
spuitnya pada pecandu narkotik berisiko 0,5-1%, ditemukan 5-10% total kasus sedunia.
Penularan melalui kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan mempunyai
risiko 0,5%, dan mencakup <0,1% total kasus sedunia (Mansjoer, 1977: 163).
c)
Lewat
Air Susu Ibu (ASI)
Penularan ini dimungkinkan dari
seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina, kemudian
menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (mother-to-child transmission) berkisar
antara 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan ibu HIV positif kemungkinan ada 3
bayi yang lahir dengan HIV positif (Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional, 2010).
k. Kelompok Resiko Tinggi Terinfeksi HIV/AIDS
Kelompok
berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku sedemikian rupa sehingga
sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini termasuk penjaja seks
baik perempuan maupun laki-laki, pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza
suntik dan pasangannya, waria, penjaja
seks dan pelanggannya, serta lelaki suka lelaki. Karena kekhususannya,
narapidana termasuk dalam kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan
untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.
l. Pengobatan HIV dan AIDS
Infeksi
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang. Sistem
imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi-infeksi oportunistik
yang dapat muncul secara bersamadan berakhir pada kematian. Sementara itu belum
ditemukan obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat
dibagi dalam tiga kelompok antara lain:
a)
Pengobatan
Suportif
Pengobatan
yang dilakukan untuk
meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi
yang baik, obat simtomatik, vitamin, dan dukungan psikososial agar penderita
dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Pengobatan infeksi oportunistik
dilakukan secara empiris.
b)
Pengobatan
Infeksi Oportunistik
Pengobatan
yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara empiris.
c)
Pengobatan
Antiretroviral (ARV)
ARV bekerja langsung menghambat
perkembangbiakan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse
transcriptase atau menghambat enzim protease. Kendala dalam pemberian ARV
antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat secara langsung, dan resistensi HIV
terhadap obat ARV (Depkes RI, 2006: 30).
m. Pencegahan HIV dan AIDS
Pencegahan penularan
HIV dilakukan secara primer, yang mencakup mengubah perilaku seksual dengan
menetapkan prinsip ABCD,
yaitu :
a) A
atau Abstinence, yaitu menunda kegiatan seksual
(tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah).
b) B
atau BeFaithful, yaitu saling setia pada
pasangannya setelah menikah.
c) C
atau Condom, yaitu menggunakan kondom bagi
orang yang melakukan perilaku seks beresiko.
d) D
atau Don’t
Drugs,
yaitu tidak menggunakan NAPZA terutama NAPZA suntik agar tidak menggunakan
jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan
KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat
agar tidak melakukan perilaku beresiko, khususnya pada remaja.
B. Situasi Epidemi HIV dan AIDS
a. Status Epidemi Global
AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah
berkembang menjadi masalah kesehatan global.Sekitar 60 juta orang telah
tertular HIV dan 25 juta telah meninggal dunia akibat AIDS, sedangkan saat ini
orang yang hidup dengan HIV sekitar 35 juta orang.(Sumber : Strategi dan
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-2014)
Setiap hari terdapat 7400 orang baru terkena HIV atau
5 orang per menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta
kematian akibat AIDS. (Sumber: Report on
the global AIDS epidemic, UNAIDS, 2008)
Negara-negara di Asia terdapat 4,9 juta orang yang
terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan
kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara penularan di Asia sangat
bervariasi, namun yang mendorong epidemic adalah tiga perilaku yang beresiko
tinggi, yaitu seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik
dikalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi.
(Sumber: Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS
2010-2014)
b. Status Epidemi di Indonesia
Sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada tahun 1987 di
Bali, jumlah kasus menjadi bertambah secara perlahan menjadi 225 kasus di tahun
2000. Sejak itu kasus AIDS bertambah cepat dipicu olehpengguna napza suntik.
Pada tahun 2006, sudah terdapat 8.194 kasus AIDS. Pada akhir Juni 2009
dilaporkan sebesar 17.699 pasien AIDS, 15.608 orang diantaranya adalah golongan
usia produktif antara 25-49 tahun (80%). (Sumber : Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014)
C. Situasi Penanggulangan HIV dan AIDS
a. Perkembangan Penanggulangan AIDS di Indonesia
Tahun 1987 Menteri Kesehatan membentuk panitia AIDS
nasional yang diketuai oleh Dirjen P2MPL. Pada tahun 1994 dikeluarkan Keppres
nomor 36 tahun 1994 tentang pembentukkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. KPA Nasional yang diketuai oleh
Menko Kesra mengeluarkan strategi nasional dan rencana kerja lima tahun
penanggulangan AIDS 1994-1998.
Berdasarkan strategi nasional tersebut, banyak mitra
internasional mendukung pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia.Setelah itu, beberapa kementrian mengeluarkan peraturan terkait upaya
penanggulangan HIV, misalnya Peraturan Menteri Pendidikan No.9/U/1997 mengenai
pencegahan HIV/AIDS melalui pendidikan, diikuti dengan Peraturan Menteri
Pendidikan No.303/U/1997 mengenai pedoman pelaksanaannya.
Tahun 2001, Indonesia menandatangani Deklarasi
Komitmen Penanggulangan HIV dan AIDS UNGGAS. Untuk meningkatkan penanggulangan
HIV dan AIDS, pada tahun 2004 Komitmen Sentani ditandatangi oleh beberapa
menteri (Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Kesehatan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
Agama), Kepala BKKBN dan Ketua Komisi VII DPR RI, serta 6 gubernur,
Tahun 2003 Kementerian Kesehatan menyusun Rencana
Strategis Penanggulangan AIDS sektor kesehatan. Sektor lain juga merespon
adanya HIV dan AIDS, antara lain Kementerian Tenaga Kerja yang mengeluarkan
Kepmennaker pada tahun 2004 untuk mengimplementasikan program HIV dan AIDS di
tempat kerja, sedangkan Kementerian Sosial dan BKKBN membentuk unit yang
manangani HIV dan AIDS.
Untuk menanggulangi masalah penularan HIV melalui
penggunaan NAPZA suntik, pada tahun 2003 dibuat nota kesepahaman antara Menko
Kesra selaku ketua KPA dan Kapolri selaku ketua BNN. Untuk mengkoordinasikan
penanggulangan AIDS, pada tahun 2003 Menko Kesra menyusun Strategi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2003-2007.
b. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
Kasus pertama
AIDS di Indonesia ditemukan 27
tahun yang lalu (1987). Antara tahun 1987 dan 1997, peningkatan infeksi tampak
lambat, upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di
sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
(KPAN) yang pertama di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden no 36 tahun 1994, yang kemudian disusul dengan
Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama (bulan Juni 1994).
Pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yang
tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun).Lingkungan
sosial dan legal yang mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar
menyuntik secara sembunyi-sembunyi dengan berbagi alat suntik.Hal ini berdampak
negatif pada semua orang yang terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV.
Dalam bulan Desember 2005, setelah mendengar
penjelasan dari Wakil Ketua Pokja Komitmen Sentani dan staf sekretariat KPA
Nasional, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat yang baru, Ir
Aburizal Bakrie berkesimpulan, bahwa AIDS bukan merupakan persoalan lokal,
tetapi merupakan ancaman serius terhadap pembangunan bangsa Indonesia secara
nasional, dengan perkataan lain, upaya penanggulangan yang terpencar-pencar,
terbatas dan tak terkoordinasi tidak akan mampu mengendalikan epidemi HIV dan
AIDS di Indonesia. Atas dasar analisa tersebut, beliau berkesimpulan bahwa
perlu ada perubahan dalam status, keanggotaan maupun tata kerja dari Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).
Enam bulan kemudian pada tanggal 13 Juli 2006,
ditetapkanlah Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN yang baru ditugaskan untuk “meningkatkan
upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh,
terpadu dan terkoordinasi”.KPAN berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden, dengan demikian meningkatkan posisi KPAN sebagai bagian dari aparat
pembangunan bangsa yang mempunyai tanggung jawab secara nasional.
Berbeda dengan KPAN sebelumnya, KPAN dalam Perpres
nomor 75 tahun 2006 lebih inklusif dengan penambahan anggota selain dari sektor
pemerintah sipil dan militer, juga dari organisasi ODHA nasional, perwakilan
dari komunitas LSM AIDS, dan organisasi profesi dan sektor swasta. Dr Nafsiah
Mboi, salah seorang anggota KPAN ditetapkan sebagai sekretaris penuh waktu
merangkap sebagai Kepala Sekretariat KPAN dan Ketua Tim Pelaksana KPAN.
Permenkokesra nomor 5 tahun 2007 menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama
5 tahun (2006-2011) dan hanya bisa diperpanjang selama maksimum 1 masa bakti (5
tahun) lagi.
Dalam menjalankan mandatnya, Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional memiliki 8 (delapan) tugas pokok dan fungsi yaitu :
a) Menetapkan
kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
b) Menetapkan
langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan;
c) Mengkoordinasikan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
d) Melakukan
penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam
kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan
masyarakat;
e) Melakukan
kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
AIDS;
f) Mengkoordinasikan
pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS;
g) Mengendalikan,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian, dan
penanggulangan AIDS;
h) Memberikan
arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
D. Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Dalam Strategi
dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014 di
Indonesia ditujukan untuk mencegah dan mengurangi resiko penularan HIV,
meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi
akibat HIVdan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar setiap individu
menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan.
Strategi
Nasional 2010-2014 merupakan kelanjutan dari Strategi Nasional 2007-2010 dengan
memperhatikan hasil-hasil pelaksanaannya.Strategi yang dikembangkan ini
berupaya untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dan sesuai dengan hasil
rekomendasi dari kajian paruh waktu.Implementasi seluruh strategi ini dilakukan
dengan koordinasi dengan melibatkan pemerintah dan peran aktif masyarakat,
termasuk kelompok komunitas dan kelompok dukungan sebaya.
Berdasarkan
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014,
terdapat beberapa program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, yaitu
sebagai berikut :
a.
Program
Pencegahan Penularan Melalui Alat Suntik
Populasi
penasun didorong untuk mengikuti layanan alat suntik steril (LASS). Layanan
initerus dikembangkan baik melalui LASS ditingkat komunitas maupun di layanan kesehatan
seperti puskesmas. Ketersediaan LASS telah bertambah dari 17 unit layanan di
tahun 2005 menjadi 182 unit layanan di tahun 2008, yaitu di 113 puskesmas dan
69 unit di beberapa LSM, STHP tahun 2007 menemukan bahwa lebih banyak penasun
pergi ke layanan di komunitas (LSM) daripada di puskesmas.
Layanan di
puskesmas perlu ditingkatkan agar menjadi lebih mudah diakses oleh penasun.
Layanan tersebut menyediakan informasi dan penukaran alat suntik steril kepada
penasun. Sampai dengan tahun 2008, terdapat 49.000 penasun yang telah mengakses
layanan alat suntik steril.Program pencegahan penularan melalui alat suntik di
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang belum dilaksanakan dengan baik,
karena belum ditemukannya penyebaran atau penularan virus HIV melalui alat
suntik.Hal inilah yang menjadi alasan pencegahan penularan melalui alat suntik
di Kabupaten Sintang.
b.
Program
Terapi Rumatan Metadon
Layanan terapi
rumatan metadon disediakan untuk mengganti ketergantungan dan kebiasaan
perilaku penasun terhadap penggunaan narkoba melalui alat suntik, sehingga dapat
meminimalkan penularan HlV. Hingga akhir tahun 2008, telah tersedia 46 unit layanan
terapi rumatan metadon yang dilaksanakan di puskesmas (27), rumah sakit (15) dan
lapas (4). Jumlah pasien yang memperoleh layanan metadon sebanyak 2.711 orang
atau baru 12% dari target tahun 2008 (21.790 orang).
Program terapi rumatan matadon belum dilaksanakan di
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang, karena di Kabupaten Sintang belum
memiliki unit layanan terapi rumatan metadon, baik di puskesmas, rumah sakit
maupun lapas.Hal inilah yang menjadi salah satu kendala dilaksanakannya program
terapi rumatan metadon di Kabupaten Sintang.
c.
Program
di Lembaga Pemasyarakatan
Program
penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dikembangkan
sejak tahun 2007. Beberapa kebijakan yang telah tersedia antara lain adalah
Stranas Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan;
Rencana lnduk Penguatan Sistem dan Penyediaan Layanan Klinis Terkait HIV dan AIDS
di Lapas/Rutan; Petunjuk Pelaksana Teknis Layanan Dukungan dan Pengobatan HIV dan
AIDS di Lapas/Rutan; SOP Pelaksanaan Metadon di Lapas/Rutan; Surat Edaran
Dirjen Permasyarakatan Tentang Monitoring dan Evaluasi Program Penanggulangan
HIV dan AIDS di Lapas/Rutan.
Pada tahun
2010, Kemkumham menetapkan target sebanyak 96 penjara yang diharapkan dapat
melaksanakan program pencegahan HIV dan AIDS secara komprehensif. Hingga saat
ini sudah terdapat 15 Lapas yang melaksanakan layanan komprehensif untuk penanggulangan HIV dan
AIDS, dan sampai bulan Juli 2009 terdapat 4.285 warga binaan yang telah
mendapat lavanan VCT. Sudah terdapat 4 lapas yang telah menyediakan layanan
metadon, dan hingga tahun 2008, sebanyak 1.079 WBP telah mengakses layanan
terapi metadon.
Sudah terdapat
53 lapas yang bekerja sama dengan rumah sakit rujukan untuk menyediakan layanan
ART,TB dan lO lainnya kepada WBP. Pelaksanaan program di lapas, dilakukan
melalui kerjasama dengan LSM. Ada sekitar 26 LSM yang melakukan program di
lapas termasuk untuk penjangkauan WBP.
Keterbatasan
dana dan sumberdaya manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS, masih menjadi
penghambat dalam implementasi program di Lapas. Dengan dukungan GF R8, akan
diperluas program HlVdi82 lapas di 12 provinsi. Program tersebut meliputi
penguatan kapasitas program di lapas, kerjasama dengan komunitas dan LSM dalam
kaitannya dengan peningkatan informasi pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan, konseling dan testing.
Program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga
Permasyarakatan Kabupaten Sintang dilakukan untuk seluruh warga binaan Lapas
Sintang. Berbagai jenis kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Lapas Sintang
seperti :
a) Memberikan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada
warga binaan Lapas;
b) Konseling
mengenai penyakit HIV dan AIDS;
c) Pertemuan
atau rapat koordinasi dengan KPA Kabupaten Sintang terkait penanggulangan HIV
dan AIDS di Lapas Kabupaten Sintang.
d.
Program
Pencegahan Penularan HIV MelaluiTransmisi Seksual
Program
pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dilakukan melalui promosikondom
dan penyediaan layanan infeksi menular sekual. Pada tahun 2008, jumlahlayanan
IMS yang telah tersedia adalah sebanyak 245 unit layanan, yang dilaksanakandi
puskesmas, klinik swasta, klinik perusahaan maupun masyarakat. Program
promosikondom telah dilaksanakan di lokasi dan kelompok komunitas. Kegiatan
promosi kondomtelah menjangkau 27.180 WPS,403.030 pelanggan WPS, 27.810 Waria, 63.980 LSL dan50/20
penasun (Sumber: Data Cakupan, KPAN, Juni 2009).
Jumlah outlet
kondom telahdikembangkan sebanyak 15.000 unit dan sebanyak 20 juta kondom telah
didistribusikansetiap tahunnya baik secara gratis maupun komersial (Sumber: DKT, 2008). KPA Nasionaltelah berinisiatif
untuk mengembangkan program komprehensif untuk pencegahan HIVdengan intervensi
struktural di 12 kabupaten/kota
termasuk penyediaan outlet kondom, yangakan dilanjutkan menjadi 36 lokasi
hingga tahun 2014 dengan dukungan dana GF R8.
Program
pencegahan penularan melalui transmisi seksual juga dilakukan secara terus
menerus kepada remaja baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah melalui
sektor pendidikan sebagai bagian dari pendidikan keterampilan hidup (life skill education). Program ini
telah dilaksanakan dan bermanfaat terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat,
dimana epidemi sudah meluas di masyarakat.
Program
pencegahan penularan melalui transmisi seksual di Komisi
Penanggulangan AIDS Kabupaten Sintang sudah dilaksanakan. Beberapa kegiatan
yang dilaksanakan yaitu :
a) Distribusi
logistik kondom kepada setiap outlet-outlet yang telah ditentukan oleh KPA
Kabupaten Sintang;
b) Memberikan
promosi kesehatan kepada remaja ataupun pelajar di Kabupaten Sintang (khususnya
pelajar SMA);
c) Memberikan
promosi kesehatan kepada populasi kunci seperti Wanita Pekerja Seks (WPS).
e.
Program
Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi (PMTCT)
Penularan HIV
melalui ibu ke bayi cenderung mengalami peningkatan seiring denganmeningkatnya
jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupunakibat
perilaku yang berisiko. Meskipun data prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayimasih terbatas, namun jumlah ibu hamil yang positif cenderung meningkat.
Berdasarkanhasilproyeksi, jumlah ibu hamilpositif yang memerlukan layanan
PMTCTakan meningkatdari 5.730 orang pada tahun 2010 menjadi 8.170 orang pada
tahun 2014.
Sejak tahun
2007, upaya pencegahan penularan HIV melalui ibu ke bayi telah dilaksanakan
dalam skala yang masih terbatas, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV
tinggi. Hingga tahun 2008 telah tersedia layanan PMTCT sebanyak 30 layanan yang
terintegrasi dalam layanan KIA (Antenatal
Care). Jumlah ibu hamil yang mengikuti test HIV sebanyak 5.167 orang,
dimana 1.306 (25%) diantaranya positif HlV. Namun baru 165 orang atau 12,6%
yang memperoleh ARV prophylaxis yang dilaksanakan di 30 unit layanan. Program
PMTCT juga telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga masyarakat khususnya untuk
penjangkauan dan memperluas akses layanan ke PMTCT. Program Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu
ke Bayi (PMTCT) dilakukan dengan cara melakukan screening test HIV pada setiap ibu hamil.
Program
Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi di KPA
Kabupaten Sintang sudah terlaksana. Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade
Mohamad Djoen Sintang.Program
Pencegahan Penularan HIV Melalui lbu ke Bayi dilakukan
dengan screening test HIV pada ibu
hamil, yaitu untuk mengetahui apakah ibu hamil mengidap HIV dan AIDS atau
tidak.
f.
Konseling
dan Testing Sukarela (Voluntary Counseling
and Testing)
Layanan
kesehatan yang pertama dalam pencegahan adalah layanan VCT. Diharapkan seluruh
populasi kunci mendapatkan pemeriksaan HIV melalui layanan ini. Salah satu tujuan
dari promosi pencegahan adalah mendorong populasi kunci ke layanan VCT.
Hingga tahun
2008, jumlah layanan VCT terdapat sebanyak 547 unit, baik yang dilaksanakan
olehpemerintah (383) maupun swasta dan masyarakat (164). Di daerah yang
terjangkau kegiatanpencegahan layanan VCT mengalami peningkatan. Dalam kurun
waktu 2004-2007 terjadipeningkatan layanan VCT terhadap populasi kunci : PadaWPS dari 27% menjadi 41%;pelanggan
WPS dari 6% menjadi 10%; Waria dari 47% menjadi 64%; LSL dari 19% menjadi 37%
dan penasun dari 18% menjadi 41% (STHP 2007).
Layanan kesehatan dan VCT di KPA Kabupaten Sintang sudah
terlaksana.Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade Mohamad Djoen Sintang dan
Klinik IMS Sungai Durian Sintang.
g.
Program
Perawatan Dukungan dan Pengobatan
Layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan ditahun 2009sudah diberikan oleh 154
rumahsakit rujukan dari sebelumnya 25 rumah sakit di tahun 2004. ODHA yang
membutuhkanARV diperkirakan berjumlah 27.770 di tahun 2008 (10% darijumlah estimasi ODHA).
lnfeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada ODHA adalah Tuberkulosis yaitu
mencapai 41% dari seluruh kasus infeksi oportunistik, kemudian diare kronis
(21%) dankandidiasis (21%). lnfeksi oportunistik ini menyebabkan kematian pada
ODHA. Di lembaga pemasyarakatan 22,68% kematian disebabkan HlV, 18,37%
diakibatkan oleh TBC dan6,19% adalah akibat hepatitis (Sumber: Ditjen Pemasyarakatan,
Kemkumham, 2008).
Pada Juni 2009
terdapat 12.493 ODHA sedang menjalani pengobatan ARV (atau 45% dari yang
membutuhkan). Pada tahun 2008, angka kematian ODHA turun menjadi 17%
dibandingkan sebelumnya 46% pada tahun 2006.
Program perawatan dukungan dan pengobatan di KPA
Kabupaten Sintang sudah terlaksana.Program ini dilaksanakan di VCT RSUD Ade
Mohamad Djoen Sintang yaitu dengan terapi ARV teratur dan di Klinik IMS Sungai
Durian Sintang yaitu dengan pengobatan dan perawatan Infeksi Menular Seksual
(IMS).
E. Teori Implementasi Kebijakan
George C. Edward
melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana
terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan.
Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward
menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua
pertanyaan pokok yaitu :
a. Apakah
yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?
b. Apakah
yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan ?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan
empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
implementasi.Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi (communication), sumberdaya
(resources), disposisi (disposition),
dan struktur birokrasi (bureucratic
structure) (George C. Edward dalam Widodo, 2011: 96-110).
a. Komunikasi
(Communication)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari
komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti
merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana
kebijakan (policy implementors)
(Widodo, 2011:97).
Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu
disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa
yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan,
sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan
dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan
dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup
beberapa dimensi penting yaitu :
a) Tranformasi
Informasi (Transformation)
Dimensi
tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana
kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.
b) Kejelasan
Informasi (Clarity)
Dimensi
kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu
untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.
c) Konsistensi
Informasi (Consistency)
Dimensi
konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten
sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran
maupun pihak terkait.
b. Sumber
Daya (Resources)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam
implementasi kebijakan.George C. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan
bahwa bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak
akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber
yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.
Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi
dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut :
a) Sumber
Daya Manusia (Staff)
Implementasi
kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia
yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan
dengan keterampilan, dedikasi, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya,
sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah
cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia
yang handal, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
b) Anggaran
(Budgetary)
Dalam
implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau
investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya
kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan
berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
c) Fasilitas
(Facility)
Fasilitas atau
sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah
dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu
program atau kebijakan.
d) Informasi
dan Kewenangan (Information and
Authority)
Informasi juga
menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang
relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu
kebijakan.Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan
menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.
c. Disposisi
(Disposition)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari
pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran.Karakter penting yang harus dimiliki
oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran
mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah
digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan
membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan
tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh
dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik
maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung
maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
d. Struktur
Birokrasi (Bureucratic Structure)
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan.Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua
hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri.Aspek pertama adalah
mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standart Operation Procedur(SOP). SOP
menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam
pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek
kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan
terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi menjadi tidak fleksib
F. Kerangka
Teori
Komunikasi
(Communication)
|
(Bureaucratic
Structure)
|
Sumber Daya
(Resources)
|
Disposisi
(Disposition)
|
Implementasi
(Implementation)
|
Gambar 2.1 Kerangka Teori Implementasi menurut George
C. Edward III
Sumber
:George C. Edward III dalam Widodo (2011: 107)
DAFTAR
PUSTAKA
A.B. Susanto, dkk. 2006. Strategi Organisasi.
Yogyakarta : Asmara Books
Agustino, Leo. 2008. Dasar Dasar Kebijakan Publik. Bandung :Alfabeta.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Aritonang,
Mika V. 2008. Implementasi Tugas-Tugas
PokokKomisi Penanggulangan “Acquired ImmuneDeficiency Syndrome” (AIDS) Daerah
(KPAD)Dalam Penanggulangan HIV/AIDSDi Kabupaten GroboganTahun 2009. Tesis
Tidak Diterbitkan. Universitas Diponegoro: Semarang.
Hutapea,
Ronald. 2011. AIDS dan PMS dan
Pemerkosaan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
KPAN. 2014. Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. (online) http://www.aidsindonesia.or.id/.
Diakses 01 Juni 2014.
______.
2014. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Jakarta : Australian AID.
______.
2013. Laporan Perkembangan HIV-AIDS
Triwulan III Tahun 2013 . Jakarta.
KPA
Kalimantan Barat. 2013. Laporan Kasus
HIV-AIDS di Provinsi Kalimantan Barat sampai dengan bulan Desember 2013. Pontianak: 2013.
KPA
Kabupaten Sintang. 2014. Laporan Kasus
HIV-AIDS di Kabupaten Sintang sampai dengan bulan April 2014. Sintang: 2014.
Kumalasari,
Ika Y. 2013. Perilaku Berisiko Penyebab
Human Immunodeficiency Virus (HIV) Positif (Studi Kasus di Rumah Damai
Kelurahan Cepoko Kecamatan Gunungpati Kota Semarang).Skripsi Tidak
Diterbitkan. Universitas Negeri Semarang : Semarang.
Moleong,
Lexy J. 2006. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Nazir, M. 2011. Metode Penelitian. Bogor Selatan :Ghalia Indonesia.
Nawawi,Ismail. 2009.Public Policy. Surabaya : Putra Media Nusantara.
Notoadmodjo, S.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
______.
2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan..
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nugroho, Riant, 2008. Public Policy, Jakarta : Alex Media Komputindo.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu. Jakarta: Salemba
Medika.
Panjaitan,
Arif A. 2013. Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan Konsistensi Wanita Pekerja Seks (WPS) Menggunakan Kondom
Untuk Pencegahan HIV dan AIDS Di Merano Kabupaten Sintang Tahun 2013.Skripsi
Tidak Diterbitkan. STIKes Kapuas Raya: Sintang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta: 2013.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakayat RI Nomor : 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 Tentang Kebijakan Nasionall
Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Jakarta :
2007
Rihaliza.
2010. Hubungan Konseling VCT dan Dukungan
Sosial Dari Kelompok Dukungan Sebaya Dengan Kejadian Depresi Pada Pasien
HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support.Skripsi Tidak Diterbitkan. Universitas Andalas: Padang.
Rukmana,
Novayanti S. 2013. Implementasi Program
Jaminan Kesehatan GratisDaerah Di Puskesmas SumbangKecamatan Curio Enrekang. Skripsi
Tidak Diterbitkan. Universitas Hasanuddin: Makasar.
Subarsono, AG. 2010.Analisis Kebijkan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2012. Metode
Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta.
Suharto, Edi. 2005. Analisis
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
Widodo.
2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep
dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang : Bayu Media
Winarno, Budi.2012. Kebijakan Publik. Yogyakarta: CAPS
______. 2005. Teori
& Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar