Gizi Kurang
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas
berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Kekurangan zat gizi
adaptif bersifat ringan sampai dengan berat. Gizi kurang banyak terjadi pada
anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga
tingkat yang berat dan di sebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein
dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama (Khaidirmuhaj,
2009).
Gizi kurang merupakan kurang gizi
tingkat sedang yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein yang
terjadi dalam waktu yang cukup lama (Sandjaja, 2010). Gizi kurang mencakup
kurang energi protein (KEP) tingkat ringan dan sedang.
2. Etiologi
Masalah gizi kurang umumnya disebabkan
oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas
lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu
seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium) (Almatsier, 2010).
Gizi kurang secara langsung disebabkan
oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah
usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam
keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi
dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung
pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang
bersangkutan (Almatsier, 2004).
Penyebab tidak langsung yaitu
ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan
dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh
anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan
kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan.
Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya
krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi
ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada
akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
Penyebab tak
langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika ekonomi negara mengalami krisis
moneter akan menyebabkan kenaikan harga barang, termasuk bahan makanan sumber
energi dan sumber protein (beras, ayam, daging dan telur). Penyebab lain yang
berpengaruh terhadap defisiensi konsumsi makanan berenergi dan berprotein
adalah rendahnya pendidikan umum pendidikan gizi, sehingga kurang adanya pemahaman
peranan zat gizi bagi manusia. Atau mungkin dengan adanya produksi pangan yang
tidak mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang terlalu banyak, kondisi higiene
yang kurang baik,sistem perdagangan dan distribusi yang tidak lancar serta
tidak merata (Adriani dan
Wijatmadi 2012).
3.
Epidemiologi
Balita merupakan salah satu kelompok
rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, kekurangan gizi akan
menyebabkan hilangnya masa hidup sehat pada balita. Salah satu permasalahan gizi pada balita adalah gizi kurang.
Seseorang yang mengalami gizi kurang akan menunjukkan tanda klinis yaitu tampak
kurus. Masalah gizi kurang dapat mengakibatkan tumbuh kembang anak terganggu
dan juga dapat mengalami gangguan pada organ dan sistem tubuh (Dahlia, 2012).
Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin
gizi (iodium) (Almatsier, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang
pada anak balita di masyarakat adalah krisis ekonomi, politik dan sosial
merupakan akar permasalahan kurang gizi. Penyebab langsung adalah ketidakseimbangan
antara asupan makanan yang berkaitan dengan penyakit infeksi. Penyebab secara
tidak langung gizi kurang yaitu persedian pangan di rumah tangga yang kurang,
pola asuh anak yang kurang memadai, sanitasi kesehatan lingkungan yang kurang
baik dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas. Semua penyebab diatas akan
mengakibatkan manifestasi berupa kurang gizi dengan akibat lanjut berupa
penyakit, ketidak mampuan dan kematian ( West, 2006 ).
4.
Klasifikasi
Morley dalam (Notoatmodjo,2007) membahas
bahwa pengukuran berat dan tingggi badan mempunyai beberapa kelemahan, antara
lain kurang akuratnya dalam pelaksanaan pengukuran oleh para petugas. Tetapi ia
menyatakan bahwa ukuran lain pun tidak mempunyai wilayah dinamis untuk
pertumbuhan anak akhirnya ia berkesimpulan bahwa berat dan tinggi badan per
umur dapat mencerminkan status gizi anak, baik pada waktu lampau maupun status
pada saat ini. Dan akhirnya untuk berat dan tinggi badan per umur sebagai
indikator status gizi anak, pada umumnya para peneliti cenderung mengadu kepada
standar Harvard dengan berbagai modifikasi.
Untuk negara-negara yang sedang
berkembang pada umumnya menggunakan klasifikasi dari Harvard (Standard Harvard)
tersebut, dengan berbagai modifikasi. Oleh karena standar Harvard tersebut
dikembangkan untuk mengukur status gizi anak dari negara-negara Barat maka
prinsip utama dalam modifikasi adalah disesuaikan dengan kondisi anak-anak dari
negara-negara Asia dan Afrika. Sehingga
untuk negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, klasifikasi status
gizi anak didasarkan pada 50 “percentile”
dari 100% standar Harvard.
Klasifikasi dari standar Harvard yang
sudah dimodifikasi tersebut adalah:
Ø
Gizi
baik, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umurnya lebih dari 89%
standar Harvard.
Ø
Gizi
kurang, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umur berada di
antara 60,1%-80% standar Harvard.
Ø
Gizi
buruk, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umurnya 60% atau
kurang dari standar Harvard.
Pengukuran status gizi bayi dan anak
balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, juga menggunakan modifikasi
standar Harvard, dengan klasifikasinya adalah:
Ø
Gizi
baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umurnya lebih
dari 80% standar Harvard.
Ø
Gizi
kurang, adalah apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umur
berada di antara 70,1%-80% dari standar Havard.
Ø
Gizi
buruk, adalah apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umurnya 70%
atau kurang dari standar Harvard.
Secara terperinci, pengukuran status
gizi bayi/anak balita berdasarkan berat dan tinggi badan adalah menggunakanlan
tabel sebagai berikut:
Tabel
2.1 Berat
dan Tinggi Badan Menurut Umur (Umur 0-5 Tahun, Jenis Kelamin Tidak Dibedakan)
Umur
|
Berat (Kg)
|
Tinggi
(Cm)
|
||||||
Tahun
|
Bulan
|
Normal
|
Kurang
|
Buruk
|
Normal
|
Kurang
|
Buruk
|
|
Baku
|
80%
Baku
|
60%
Baku
|
Baku
|
80%
Baku
|
60%
Baku
|
|||
0
|
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
3,4
4,3
5,0
5,7
6,3
6,9
7,4
8,0
8,4
8,9
9,3
9,6
|
2,7
3,4
4,0
4,5
5,0
5,5
5,9
6,3
6,7
7,1
7,4
7,7
|
2,0
2,5
2,9
3,4
3,8
4,2
4,5
4,9
5,1
5,3
5,5
5,8
|
60,5
65,0
68,0
60,0
62,0
64,5
66,0
67,5
62,0
70,5
72,0
73,5
|
43,0
46,0
49,0
51,0
53,5
54,5
56,0
57,5
52,0
60,0
61,5
63,0
|
35,0
38,0
40,5
42,0
43,5
45,0
46,0
47,0
48,5
42,5
50,5
51,5
|
|
1-
|
0
3
6
9
|
9,9
10,6
11,3
11,9
|
7,9
8,5
9,0
9,6
|
6,0
6,4
6,8
7,2
|
74,5
78,0
81,5
84,5
|
54,5
65,5
70,0
72,0
|
52,5
54,5
57,0
60,0
|
|
2-
|
0
3
6
9
|
12,4
12,9
13,5
14,0
|
9,9
10,5
11,2
11,7
|
7,5
7,8
8,1
8,4
|
87,0
88,5
92,0
94,0
|
74,0
76,0
78,0
80,0
|
61,0
62,5
64,0
66,5
|
|
3-
|
0
3
6
9
|
14,5
15,0
15,5
16,0
|
11,9
12,0
12,4
12,9
|
8,7
9,0
9,3
9,6
|
96,0
98,0
99,5
101,5
|
82,0
83,5
84,5
85,5
|
67,0
88,5
70,0
71,0
|
|
4-
|
0
3
6
9
|
16,5
17,0
17,4
17,9
|
13,2
13,6
14,0
14,4
|
9,9
10,2
10,6
10,8
|
103,5
105,0
107,0
108,0
|
87,5
89,5
90,0
91,5
|
72,0
73,5
74,5
75,5
|
|
5-
|
0
|
18,4
|
14,7
|
11,0
|
109,0
|
92,5
|
76,0
|
|
Sumber: Puslitbang
Gizi, Depkes. RI
5. Dampak gizi kurang
Gizi kurang pada usia balita akan
berdampak pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih lanjut berakibat
pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan,
menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Semakin rendah
status gizi seseorang, semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas (Sasmito,
2007).
Secara perlahan kekurangan gizi akan
berdampak pada tingginya angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan
hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya
partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi
(Badan perencanaan pembangunan nasional, 2007).
Balita yang mengalami gizi kurang
tentunya akan berdampak pada berbagai hal, antara lain pada tumbuh kembang,
organ, dan sistem tubuh.
1)
Tumbuh kembang balita
Dampak terhadap pertumbuhannya yaitu
postur tubuh kecil dan pendek sehingga merugikan performance anak.
Dampak terhadap perkembangannya yaitu terhambatnya perkembangan mental dan
otak. Perkembangan mental jangka pendek yang terganggu seperti anak menjadi
apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan lainnya. Sedangkan untuk dampak
jangka panjangnya yaitu penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangan kognitif,
gangguan pemusatan perhatian, penurunan rasa percaya diri dan penurunan
prestasi akademik (Dahlia, 2012).
2)
Organ dan sistem tubuh
Sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik akan melemah sehingga mudah
menimbulkan infeksi (Dahlia, 212).
6. Pencegahan
Menurut Adriani dan Wijatmadi (2012) langkah-langkah
untuk mencegah terjadinya KEP pada anak balita merupakan dari beberapa tindakan
pencegahan, seperti berikut ini:
1)
Pemberian
ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawsan BB secara teratur dan terus-menerus.
2)
Menghindari
pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI sepanjang ibu masih
mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia di bawah empat bulan.
3)
Dimulainya
pemberian makanan tambahan mengandung berbagai zat gizi secara lengkap sesuai
kebutuhan, guna menambah ASI mulai bayi mencapai lima bulan.
4)
Pemberian
kekebalan melalui imunisasi guna melindungi anak dari kemungkinan menderita
penyakit infeksi seperti DPT, campak, dan sebagainya.
5)
Melindungi
anak dari berbagai kemungkinan diare (muntaber) dan kekurangan cairan
(dehidrasi) dengan jalan memilihara kebersihan, menggunakan air masak untuk
minum, dan mencuci alat pembuat susu.
6)
Mengatur
jarak kehamilan ibu agar ibu cukup waktu merawat dan mengatur makanan bayinya
terutama pemberian ASI, yang apabila ibu mulai hamil produksi ASI akan
berhenti.
7)
Meningkatkan
pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya mengikutsertakan para
anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja diimbangi dengan
penggunaan uang yang terarah dan efisien.
8)
Meningkatkan
intensitas komunikasi informasi edukasi ( KIE) kepada masyarakat, terutama pada
ibu mengenai pentingnya konsumsi zat gizi yang diatur sesuai kebutuhan. Hal ini
bisa dikoordinasikan dengan kegiatan posyandu.
7. Penanggulangan Gizi
Kurang
Ada empat cara penanggulangan gizi
kurang yaitu:
1) Bunda harus lebih bijak dalam
memberikan aneka ragam makanan dalam porsi kecil dan sering kepada anak sesuai
kebutuhan dan petunjuk cara pemberian makanan dari rumah sakit atau dokter
maupun puskesmas.
2) Bila balita dirawat, perhatikan
makanan yang diberikan lalu teruskan di rumah.
3) Usahakan disapih setelah umur 2 tahun.
4) Berikan makanan pendamping ASI
(Nasi, bubur, daging, telur, biskuit, buah-buahan, dsb).
8. Tata Laksana Diet Pada Balita KEP
Tujuan dari tata laksana diet ini adalah
untuk memberikan diet tinggi energi, tinggi protein, dan cukup vitamin dan
mineral secara bertahap agar penderita mencapai status gizi optimal (Adriani
dan Wijatmadi, 2012).
Ada empat hal yang perlu diperhatikan
dalm pemberian diet pada balita KEP, yaitu pemberian diet, pemantauan dan
evaluasi, penyuluhan serta tindak lanjut.
Pemberian diet harus memenuhi syarat:
1.
Melalui tiga fase, yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase bilitasi.
2. Kebtuhan energi mulai dari 100-200 kalori per
kg BB/hari.
3. Kebutuhan protein mulai dari 1-6 per kg
BB/hari.
4. Pemberian suplementasi vitamin dan
mineral bila ada defisiensi atau pemberian bahan makanan sumber mineral
tertentu, sebagai berikut:
a. Sumber zink: daging sapi, hati,
makanan laut, kacang tanah, telur ayam.
b. Sumber cuprum: tiram, daging, hati.
c. Sumber mangan: daun seledri, bubuk
coklat, kacang-kacangan, bayam.
d. Sumber kalium: jus, tomat, pisang,
kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
5. Jumlah cairan 150-200 ml per kg BB/hari bila
edema dikurangi.
6. Cara pemberian per oral atau lewat pipa
nasogastrik.
7. Porsi makanan kecil dan frekuensi makan
sering.
8. Makanan fase stabilisasi harus
hipoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat (pormula WHO dan modifikasi).
9.
Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu :
10. BB < 7 kg dibrikan kembali
makanan bayi dan BB > 7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara
bertahap
11. Terus mmemberikan ASI.
12. Mempertimbangkan hasil anamnesis
riwayat gizi.
B.
Teori Lawrence Green
Lawrence
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu:
faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya, faktor pendukung
(Enabling factors) yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana,
alat-alat posyandu seperti timbangan atau dacin,meteran tinggi badan, dan
sebagainya, faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
C.
Hubungan perilaku ibu dengan kejadian gizi kurang
1. Pengetahuan
Pengetahuan
adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan
sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut
sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran
(telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010)
Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu
diartikan sebagai recall (memanggil)
memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu dalam hal ini
mengenai gizi kurang. Misalnya Ibu
tahu bahwa gizi kurang disebabkan oleh
makanan yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami
suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat
menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterpretasikan secara benar
tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, Ibu memahami cara pencegahan
gizi kurang
c. Aplikasi
(aplication)
Aplikasi
diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi
yang lain. Misalnya ibu telah paham mengenai cara pencegahan gizi kurang, dan
kemudian ia mengaplikasikan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
d. Analisis (analysis)
Analisis
adalah kemapuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah
atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seorang ibu sudah sampai
pada tingkat analisis adalah apabila ibu tersebut telah dapat membedakan,
mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan mengenai gizi
kurang. Misalnya dapat membedakan gejala gizi kurang dan gizi lebih.
e. Sintesis
(synthesis)
Sintesis
menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakan dalam satu
hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya
ibu dapat membuat kesimpulan mengenai artikel ibu ataupun yang lainnya yang
telah ia baca.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi
berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justufikasi atau penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Misalnya ibu dapat menilai upaya-upaya yang telah
ia lakukan dalam mencegah balitanya dari gejala penyakit gizi kurang.
2. Sikap
Sikap adalah juga respon
tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan
faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak
setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell dalam (Notoatmodjo, 2010)
mendefinisikan sikap sangat sederhana, yakni “An individual‘s attitude is syndrome of response consistency with
regard to objek”. Jadi dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau
kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu
melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain.
Menurut Allport dalam (Notoatmodjo,
2010), sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide,
dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana
keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
Sikap ibu terhadap gizi kurang, berarti bagaimana pendapat, keyakinan ibu tersebut terhadap
penyakit gizi kurang.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya
bagaimana penilaian orang terhadap objek. Seperti contoh butir a tersebut,
berarti bagaimana ibu menilai terhadap penyakit gizi kurang, apakah penyakit
yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului
tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak.
Misalnya tentang contoh sikap terhadap penyakit gizi kurang diatas adalah apa
yang dilakukan ibu bila balitanya menderita penyakit gizi kurang.
Ketiga komponen tersebut secara bersma-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap
yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan
penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat
berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :
a. Menerima (receiving)
Menerima diaratikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya, sikap ibu terhadap pemeriksa gizi kurang,
dapat diketahui atau diukur dari kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan
mengenai gizi kurang di lingkungan desa pakak wilayah kerja puskesmas nanga mau.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi
disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau
objek yang dihadapi. Misalnya ibu yang mengikuti penyuluhan penyakit gizi
kurang tersebut ditanya atau diminta menanggapi oleh penyuluh, kemudian ia
menjawab atau menanggapinya.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai
diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek
atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak
orang lain merespon. Contoh butir a di atas, ibu mendiskusikan penyakit gizi
kurang dengan ibu lainnya, atau bahkan mengajak ibu lainnya untuk mendengarkan
penyuluhan mengenai penyakit gizi kurang.
d. Bertanggung
jawab (responsible)
Sikap yang
paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah
diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan
keyakinannya, harus berani mengambil resiko yang ada. Contoh tersebut di atas,
ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan mengenai penyakit gizi kurang, ia harus
berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan waktunya untuk
bekerja dan beristirahat.
3. Praktik
Praktik
atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu :
a. Praktik
terpemimpin (guided response)
Apabila
subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada
tuntutan atau menggunkan panduan. Misalnya, ibu yang menjaga dan memeriksakan
kesehatannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh ibu yang lain atau pengelola
gizi di wilayah kerja Puskesmas Nanga Mau. Begitu pula yang kadang masih perlu
diingatkan untuk membawa balitanya untuk posyandu.
b . Praktik secara mekanis (mechanism)
Apabila
subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara
otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya apabila ada
seorang ibu yang merasa balitanya kekurangan gizi, ia langsung memeriksakan
balitanya tanpa menunggu perintah dari orang lain.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi
adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang
dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya ibu memberi makanan tambahan mengandung berbagai
zat gizi secara lengkap sesuai kebutuhan, pemberian kekebalan melalui imunisasi
guna melindungi balita dari kemungkinan menderita penyakit gizi kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar