Selasa, 18 Agustus 2015

GIZI KURANG



Gizi Kurang
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Kekurangan zat gizi adaptif bersifat ringan sampai dengan berat. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan di sebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama (Khaidirmuhaj, 2009).
Gizi kurang merupakan kurang gizi tingkat sedang yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein yang terjadi dalam waktu yang cukup lama (Sandjaja, 2010). Gizi kurang mencakup kurang energi protein (KEP) tingkat ringan dan sedang.
2. Etiologi
Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium)        (Almatsier, 2010).
Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2004).
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
Penyebab tak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika ekonomi negara mengalami krisis moneter akan menyebabkan kenaikan harga barang, termasuk bahan makanan sumber energi dan sumber protein (beras, ayam, daging dan telur). Penyebab lain yang berpengaruh terhadap defisiensi konsumsi makanan berenergi dan berprotein adalah rendahnya pendidikan umum pendidikan gizi, sehingga kurang adanya pemahaman peranan zat gizi bagi manusia. Atau mungkin dengan adanya produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang terlalu banyak, kondisi higiene yang kurang baik,sistem perdagangan dan distribusi yang tidak lancar serta tidak merata (Adriani dan Wijatmadi 2012).
3. Epidemiologi
Balita merupakan salah satu kelompok rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, kekurangan gizi akan menyebabkan hilangnya masa hidup sehat pada balita. Salah satu permasalahan gizi pada balita adalah gizi kurang. Seseorang yang mengalami gizi kurang akan menunjukkan tanda klinis yaitu tampak kurus. Masalah gizi kurang dapat mengakibatkan tumbuh kembang anak terganggu dan juga dapat mengalami gangguan pada organ dan sistem tubuh (Dahlia, 2012). Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium) (Almatsier, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi kurang pada anak balita di masyarakat adalah krisis ekonomi, politik dan sosial merupakan akar permasalahan kurang gizi. Penyebab langsung adalah ketidakseimbangan antara asupan makanan yang berkaitan dengan penyakit infeksi. Penyebab secara tidak langung gizi kurang yaitu persedian pangan di rumah tangga yang kurang, pola asuh anak yang kurang memadai, sanitasi kesehatan lingkungan yang kurang baik dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas. Semua penyebab diatas akan mengakibatkan manifestasi berupa kurang gizi dengan akibat lanjut berupa penyakit, ketidak mampuan dan kematian ( West, 2006 ).
4. Klasifikasi
Morley dalam (Notoatmodjo,2007) membahas bahwa pengukuran berat dan tingggi badan mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang akuratnya dalam pelaksanaan pengukuran oleh para petugas. Tetapi ia menyatakan bahwa ukuran lain pun tidak mempunyai wilayah dinamis untuk pertumbuhan anak akhirnya ia berkesimpulan bahwa berat dan tinggi badan per umur dapat mencerminkan status gizi anak, baik pada waktu lampau maupun status pada saat ini. Dan akhirnya untuk berat dan tinggi badan per umur sebagai indikator status gizi anak, pada umumnya para peneliti cenderung mengadu kepada standar Harvard dengan berbagai modifikasi.
Untuk negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya menggunakan klasifikasi dari Harvard (Standard Harvard) tersebut, dengan berbagai modifikasi. Oleh karena standar Harvard tersebut dikembangkan untuk mengukur status gizi anak dari negara-negara Barat maka prinsip utama dalam modifikasi adalah disesuaikan dengan kondisi anak-anak dari negara-negara Asia  dan Afrika. Sehingga untuk negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, klasifikasi status gizi anak didasarkan pada 50 “percentile” dari 100% standar Harvard.
Klasifikasi dari standar Harvard yang sudah dimodifikasi tersebut adalah:
Ø  Gizi baik, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umurnya lebih dari 89% standar Harvard.
Ø  Gizi kurang, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umur berada di antara 60,1%-80% standar Harvard.
Ø  Gizi buruk, adalah apabila berat badan bayi/anak balita menurut umurnya 60% atau kurang dari standar Harvard.
Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur, juga menggunakan modifikasi standar Harvard, dengan klasifikasinya adalah:
Ø  Gizi baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umurnya lebih dari 80% standar Harvard.
Ø  Gizi kurang, adalah apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umur berada di antara 70,1%-80% dari standar Havard.
Ø  Gizi buruk, adalah apabila panjang tinggi badan bayi/anak balita menurut umurnya 70% atau kurang dari standar Harvard.












Secara terperinci, pengukuran status gizi bayi/anak balita berdasarkan berat dan tinggi badan adalah menggunakanlan tabel sebagai berikut:
                                         Tabel 2.1                                                                                             Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur                                                    (Umur 0-5 Tahun, Jenis Kelamin Tidak Dibedakan)
        Umur                            


Berat (Kg)


Tinggi (Cm)
Tahun
Bulan
Normal
Kurang
Buruk
Normal
Kurang
Buruk



Baku
80%
Baku
60%
Baku

Baku
80%
Baku
60%
Baku
0
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
3,4
4,3
5,0
5,7
6,3
6,9
7,4
8,0
8,4
8,9
9,3
9,6
2,7
3,4
4,0
4,5
5,0
5,5
5,9
6,3
6,7
7,1
7,4
7,7
     2,0
2,5
2,9
3,4
3,8
4,2
4,5
4,9
5,1
5,3
5,5
5,8
60,5
65,0
68,0
60,0
62,0
64,5
66,0
67,5
62,0
70,5
72,0
73,5
43,0
46,0
49,0
51,0
53,5
54,5
56,0
57,5
52,0
60,0
61,5
63,0
35,0
38,0
40,5
42,0
43,5
45,0
46,0
47,0
48,5
42,5
50,5
51,5
1-
0
3
6
9
9,9
10,6
11,3
11,9
7,9
8,5
9,0
9,6
6,0
6,4
6,8
7,2
74,5
78,0
81,5
84,5
54,5
65,5
70,0
72,0
52,5
54,5
57,0
60,0
2-
0
3
6
9
12,4
12,9
13,5
14,0
9,9
10,5
11,2
11,7
7,5
7,8
8,1
8,4
87,0
88,5
92,0
94,0
74,0
76,0
78,0
80,0
61,0
62,5
64,0
66,5
3-
0
3
6
9
14,5
15,0
15,5
16,0
11,9
12,0
12,4
12,9
8,7
9,0
9,3
9,6
96,0
98,0
99,5
101,5
82,0
83,5
84,5
85,5
67,0
88,5
70,0
71,0
4-
0
3
6
9
16,5
17,0
17,4
17,9
13,2
13,6
14,0
14,4
9,9
10,2
10,6
10,8
103,5
105,0
107,0
108,0
87,5
89,5
90,0
91,5
72,0
73,5
74,5
75,5
5-
0
18,4
14,7
11,0
109,0
92,5
76,0









                   Sumber: Puslitbang Gizi, Depkes. RI                                                        
5. Dampak gizi kurang                                                                                 
Gizi kurang pada usia balita akan berdampak pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih lanjut berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Semakin rendah status gizi seseorang, semakin rentan sakit dan meningkatkan morbiditas (Sasmito, 2007).
Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan perencanaan pembangunan nasional, 2007).
Balita yang mengalami gizi kurang tentunya akan berdampak pada berbagai hal, antara lain pada tumbuh kembang, organ, dan sistem tubuh.
1) Tumbuh kembang balita
Dampak terhadap pertumbuhannya yaitu postur tubuh kecil dan pendek sehingga merugikan performance anak. Dampak terhadap perkembangannya yaitu terhambatnya perkembangan mental dan otak. Perkembangan mental jangka pendek yang terganggu seperti anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan lainnya. Sedangkan untuk dampak jangka panjangnya yaitu penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian, penurunan rasa percaya diri dan penurunan prestasi akademik (Dahlia, 2012).
2) Organ dan sistem tubuh
Sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik akan melemah sehingga mudah menimbulkan infeksi (Dahlia, 212).
6. Pencegahan
Menurut Adriani dan Wijatmadi (2012) langkah-langkah untuk mencegah terjadinya KEP pada anak balita merupakan dari beberapa tindakan pencegahan, seperti berikut ini:
1)      Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawsan   BB secara teratur dan terus-menerus.
2)      Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia di bawah empat bulan.
3)      Dimulainya pemberian makanan tambahan mengandung berbagai zat gizi secara lengkap sesuai kebutuhan, guna menambah ASI mulai bayi mencapai lima bulan.
4)      Pemberian kekebalan melalui imunisasi guna melindungi anak dari kemungkinan menderita penyakit infeksi seperti DPT, campak, dan sebagainya.
5)      Melindungi anak dari berbagai kemungkinan diare (muntaber) dan kekurangan cairan (dehidrasi) dengan jalan memilihara kebersihan, menggunakan air masak untuk minum, dan mencuci alat pembuat susu.
6)      Mengatur jarak kehamilan ibu agar ibu cukup waktu merawat dan mengatur makanan bayinya terutama pemberian ASI, yang apabila ibu mulai hamil produksi ASI akan berhenti.
7)      Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien.
8)      Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi ( KIE) kepada masyarakat, terutama pada ibu mengenai pentingnya konsumsi zat gizi yang diatur sesuai kebutuhan. Hal ini bisa dikoordinasikan dengan kegiatan posyandu.
7. Penanggulangan Gizi Kurang
Ada empat cara penanggulangan gizi kurang yaitu:
1) Bunda harus lebih bijak dalam memberikan aneka ragam makanan dalam porsi kecil dan sering kepada anak sesuai kebutuhan dan petunjuk cara pemberian makanan dari rumah sakit atau dokter maupun puskesmas.
2) Bila balita dirawat, perhatikan makanan yang diberikan lalu teruskan di rumah.
3)  Usahakan disapih setelah umur 2 tahun.
4) Berikan makanan pendamping ASI (Nasi, bubur, daging, telur,         biskuit, buah-buahan, dsb).
8. Tata Laksana Diet Pada Balita KEP
Tujuan dari tata laksana diet ini adalah untuk memberikan diet tinggi energi, tinggi protein, dan cukup vitamin dan mineral secara bertahap agar penderita mencapai status gizi optimal (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalm pemberian diet pada balita KEP, yaitu pemberian diet, pemantauan dan evaluasi, penyuluhan serta tindak lanjut.
Pemberian diet harus memenuhi syarat:
1. Melalui tiga fase, yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase bilitasi.
2.  Kebtuhan energi mulai dari 100-200 kalori per kg BB/hari.
3.  Kebutuhan protein mulai dari 1-6 per kg BB/hari.
4. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi atau pemberian bahan makanan sumber mineral tertentu, sebagai berikut:
a. Sumber zink: daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam.
b. Sumber cuprum: tiram, daging, hati.
c. Sumber mangan: daun seledri, bubuk coklat, kacang-kacangan, bayam.
d. Sumber kalium: jus, tomat, pisang, kacang-kacangan, kentang, apel, alpukat, bayam, daging tanpa lemak.
5.  Jumlah cairan 150-200 ml per kg BB/hari bila edema dikurangi.
6.  Cara pemberian per oral atau lewat pipa nasogastrik.
7.  Porsi makanan kecil dan frekuensi makan sering.
8. Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar dan rendah laktosa dan rendah serat (pormula WHO dan modifikasi).
9. Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu :
10. BB < 7 kg dibrikan kembali makanan bayi dan BB > 7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap
11. Terus mmemberikan ASI.
12. Mempertimbangkan hasil anamnesis riwayat gizi.

B. Teori Lawrence Green
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu: faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya, faktor pendukung (Enabling factors) yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat posyandu seperti timbangan atau dacin,meteran tinggi badan, dan sebagainya, faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
C. Hubungan perilaku ibu dengan kejadian gizi kurang
            1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010)
Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu dalam hal ini mengenai gizi kurang. Misalnya Ibu tahu bahwa gizi kurang disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, Ibu memahami cara pencegahan gizi kurang
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya ibu telah paham mengenai cara pencegahan gizi kurang, dan kemudian ia mengaplikasikan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemapuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seorang ibu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila ibu tersebut telah dapat membedakan, mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan mengenai gizi kurang. Misalnya dapat membedakan gejala gizi kurang dan gizi lebih.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya ibu dapat membuat kesimpulan mengenai artikel ibu ataupun yang lainnya yang telah ia baca.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justufikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Misalnya ibu dapat menilai upaya-upaya yang telah ia lakukan dalam mencegah balitanya dari gejala penyakit gizi kurang.
2. Sikap
        Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell dalam (Notoatmodjo, 2010) mendefinisikan sikap sangat sederhana, yakni “An individual‘s attitude is syndrome of response consistency with regard to objek”. Jadi dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain.
Menurut Allport dalam (Notoatmodjo, 2010), sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a.  Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,           bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap    objek. Sikap ibu terhadap gizi kurang, berarti bagaimana pendapat,             keyakinan ibu tersebut terhadap penyakit gizi kurang.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian orang terhadap objek. Seperti contoh butir a tersebut, berarti bagaimana ibu menilai terhadap penyakit gizi kurang, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.
c.  Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap  adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak. Misalnya tentang contoh sikap terhadap penyakit gizi kurang diatas adalah apa yang dilakukan ibu bila balitanya menderita penyakit gizi kurang.
Ketiga komponen tersebut secara bersma-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :
a.  Menerima (receiving)
Menerima diaratikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap ibu terhadap pemeriksa gizi kurang, dapat diketahui atau diukur dari kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan mengenai gizi kurang di lingkungan desa pakak wilayah kerja puskesmas nanga mau.
b.  Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya ibu yang mengikuti penyuluhan penyakit gizi kurang tersebut ditanya atau diminta menanggapi oleh penyuluh, kemudian ia menjawab atau menanggapinya.
c.  Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak orang lain merespon. Contoh butir a di atas, ibu mendiskusikan penyakit gizi kurang dengan ibu lainnya, atau bahkan mengajak ibu lainnya untuk mendengarkan penyuluhan mengenai penyakit gizi kurang.
d.  Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, harus berani mengambil resiko yang ada. Contoh tersebut di atas, ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan mengenai penyakit gizi kurang, ia harus berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan waktunya untuk bekerja dan beristirahat.
3. Praktik
        Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu :
a.  Praktik terpemimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunkan panduan. Misalnya, ibu yang menjaga dan memeriksakan kesehatannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh ibu yang lain atau pengelola gizi di wilayah kerja Puskesmas Nanga Mau. Begitu pula yang kadang masih perlu diingatkan untuk membawa balitanya untuk posyandu.
b . Praktik secara mekanis (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya apabila ada seorang ibu yang merasa balitanya kekurangan gizi, ia langsung memeriksakan balitanya tanpa menunggu perintah dari orang lain.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya ibu memberi makanan tambahan mengandung berbagai zat gizi secara lengkap sesuai kebutuhan, pemberian kekebalan melalui imunisasi guna melindungi balita dari kemungkinan menderita penyakit gizi kurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar